Jumat, 27 November 2009

HUKUM ADAT

HUKUM ADAT

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.

Daftar isi [sembunyikan]
1 Hukum adat di Indonesia
2 Hukum adat di Indonesia
2.1 Wilayah hukum adat di Indonesia
2.2 Penegak hukum adat
2.3 Aneka Hukum Adat
2.4 Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
3 Daftar Pustaka

Hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
Hukum Adat mengenai tata negara
Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.

Hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
Hukum Adat mengenai tata negara
Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
Aceh
Gayo dan Batak
Nias dan sekitarnya
Minangkabau
Mentawai
Sumatra Selatan
Enggano
Melayu
Bangka dan Belitung
Kalimantan (Dayak)
Sangihe-Talaud
Gorontalo
Toraja
Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
Maluku Utara
Maluku Ambon
Maluku Tenggara
Papua
Nusa Tenggara dan Timor
Bali dan Lombok
Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
Jawa Mataraman
Jawa Barat (Sunda)
Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
 Daftar Pustaka
Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat"
Wikipedia.com

HAM

Hak asasi manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunya seseorang sejak ia besar dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Contoh hak asasi manusia (HAM):
Hak untuk hidup.
Hak untuk memperoleh pendidikan.
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

HAK ANGKET

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online defenisi angket adalah penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat thd kegiatan pemerintah.

Dan menurut UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 27 UU hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain hak angket merupakan salah satu hak kontrol DPR terhadap kebijakan ekseutif.
Namun seringkali hak angket dipersepsikan sebagai "momok" politik oleh beberapa pihak. Lebih parah lagi ada yang berpikiran hak angket ini hanya sebagai tools untuk menjatuhkan wibawa pemerintah, misalnya dalam kasus Bank Century. Nah loh!!
Itu sedikit penjelasan mengenai hak angket yang saya copy dari berbagai sumber. Mungkin salah. Ada yang mengoreksi?

Saduran dari blog S.Naigolan

FALSAFAH HUKUM

FILSAFAT HUKUM


Oleh : Wasisto
A.PENGERTIAN FILSAFAT
Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) ,yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.Istilah “pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”(science).Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.
Adanya perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.Harry Hamersma (1990:13) menyatakan filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut Harry Hamersma (1990:9) menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh filsafat.Pernyataan itu mendapat dukungan dari Magnis-Suseno (1992:20) menegaskan jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi.Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah hal ini disebabkan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah –masalah lama manusioa (Magnis-Suseno,1992: 20).
Filasafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa – apa yang menarik perhatian manusia angapan ini diperkuat bahwa sejak abad ke 20 filsafat masih sibuk dengan masalah-masalah yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun yang lalu yang justru membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya sendiri”.Perbedaan filsafat dengan ilmu-ilmu yang lain adalah ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan..Kesimpulan dari perbedaan tersebut adalah filsafat tersebut adalah ilmu tanpa batas karena memiliki syarat-syarat sesuai dengan ilmu.Filsafat juga bisa dipandang sebagai pandangan hidup manusia sehingga ada filsafat sebagai pandangan hidup atau disebut dengan istilah way of life, Weltanschauung, Wereldbeschouwing, Wereld-en levenbeschouwing yaitu sebagai petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupanya dan filsafat juga sebagai ilmu dengan definisi seperti yang dijelaskan diatas.
Syarat-syarat filsafat sebagai ilmu adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan yang menyeluruh dan universal, dan sebagai petunjuk arah kegiatan manusia dalam seluruh bidang kehidupannya.Penelahaan secara mendalam pada filsafat akan membuat filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif itu semua berarti bahwa filsafat melihat segala sesuatu persoalan dianalisis secara mendasar sampai keakar-akarnya.Ciri lain yang penting untuk ditambahkan adalah sifat refleksif krisis dari filsafat

B.PEMBIDANGAN FILSAFAT DAN LETAK FILSAFAT HUKUM.
Terdapat kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah, sekaipun bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang lengkap, sehingga belum dalam disebut sebagai cabang.Dalam demikian bidang-bidang demikian lebih tepat disebut sebagai masalah-masalah filsafat.Dari pembagian cabang filsafat dapat dilihat dari pembagian yang dilakukan oleh Kattsoff yang membagi menjadi 13 cabang filsafat.
Seperti kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah laku.

C.PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM
Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.Maka obyek filsafat hukum adalah hukum.Definisi tentang hukum itu sendiri itu amat luas oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1986:2-4) keluasan arti hukum tersebut disebutkan dengan meyebutkan sembilan arti hukum.Dengan demikian jika kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu.Hukum itu juga dipandang sebagai norma yang mengandung nilai-nilai tertentu.Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai normaNorma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku.Norma hukum diperlukan untuk melengkapi norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.


D.MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM
Dari tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain manfaat filsafat hukum dapat dilihat.Filsafat memiliki karakteristik menyeluruh/Holistik dengan cara itu setiap orang dianggap untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Disamping itu juga memacu untuk berpikir kritis dan radikal atas sikap atau pendapat orang lain. Sehingga siketahui bahwa manfaat mempelajari filsafat hukum adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru.

E.ILMU ILMU LAIN YANG BEROBJEK HUKUM
Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, di artikan sebagai teori hukum namun dalam artian luas, yang mencakup politik hukum, filsafat hukum, dan teori hukum dalam arti sempit atau ilmu hukum.
Dari pembidangan tersebut, filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Satjipto Raharjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, atau kombinasi dari ketigabidang tersebut. Karena itu, teori hukum dapat saja membicarakan sesuatu yang bersifat universal, dan tidak menutup kemungkinan membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu.

Pengertian Hukum
I. Hukum
A. Pengertian
Ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
a. E. M. Meyers
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman sebagai penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya.
b. Immanuel Kant
Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
c. S. M. Amin, S,H.
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi serta bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara
d. M. H. Tirto Atmidjaya, S.H.
Hukum adalah semua aturan (Norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
B. Unsur-unsur Hukum
Dari pengertian hukum yang dikemukakan ahli dapat disimpulkan bawa unsur-unsur hukum meliputi :
a. Peraturan atau norma mengenai pergaulan manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut tegas, berupa hukuman.
C. Ciri-Ciri Hukum
Hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Adanya perintah atau larangan
b. Perintah atau larangan itu harus ditaati oleh semua orang
c. Pelanggarnya dikenakan sanksi.
Menurut pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), macam-macam sanksi pidana :
a. Pidana Pokok, yang terdiri atas :
1. Pidana mati
2. Pidana penjara :
a. Seumur hidup
b. Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun) atau pidana penjara selama waktu tertentu.
c. Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu tahun
d. Pidana denda (pengganti hukuman kurungan)
e. Pidana tutupan
b. Pidana yang terdiri atas :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
3. Pengumumaman keputusan hakim.
D. Sifat Hukum
Hukum bersifat memaksa dan mengatur terhadap subyek hukum, yaitu manusia yang bertempat tinggal diwilayah hukum tersebut. Sifat memaksa dan mengatur sangat diperlukan dalam penegakan hukum.
E. Tujuan Hukum
Hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada raktnya
b. Untuk mencapai keadilan dan ketertiban
c. Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai
d. Memberikan petunjuk bagi orang-orang dalam pergaulan masyarakat
e. Menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya.
F. Fungsi Hukum
Menurut Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah sebagai berikut :
a. Pengendalian sosial
b. Memperlancar proses interaksi sosial
c. Menata masyarakat.
II. Penegakkan Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara
Negara hukum adalah negara yang segala kegiatan untuk menyelenggarakan pemerintahannya didasarkan atas hukum yang berlaku dinegara tersebut :
A. Manfaat hukum bagi Warga Negara :
a. Memberikan kepastian hukum bagi warga negara.
b. Melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara.
c. Memberi rasa keadilan bagi warga negara.
d. Menciptakan ketertiban dan ketentraman
B. Penegakkan norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara, antara lain :
a. Penegakkan norma agama, dalam kehidupan sehari-hari setiap pemeluk agama harus menegakkan norma-norma agama yang dianutnya.
b. Penegakkan norma kesopanan, bersumber dari masyarakat. Pelanggaran atas norma ini akan mendapat pengucilan dari pergaulan masyarakat.
c. Penegakkan norma kesusilaan, berasal dari setiap orang. Pelanggaran norma ini akan mendatangkan rasa malu dan penyesalan diri.
d. Penegakkan norma hukum, berasal dari negara, adapun lembaga negara yang bertugas sebagai penegak hukum antara lain :
1. Kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama memelihara keamanan didalam negeri.
2. Kejaksaan ialah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Kejaksaan dibagi menjadi :
a. Kejaksaan Negeri (Wilayah kabupaten / Kotamadya)
b. Kejaksaan Tinggi (Wilayah Propinsi)
c. Kejaksaan Agung (Wilayah NKRI)
3. Kehakiman ialah lembaga yang diberi kekuasaan untuk mengadili.
Badan Kehakiman di bagi atas :
a. Peradilan umum
b. Peradilan agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha
III. Jaminan Hukum Atas Hak dan Kewajiban Warga Negara
a. Jaminan Hukum atas hak-hak warga negara yaitu :
a. Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan dan berkumpul
c. Hak atas Kemerdekaan berserikat dan berkumpul
d. Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah
e. Hak ikut serta dalam membela negara
f. Hak mendapat pengajaran
g. Hak dipelihara oleh negara.
B. Kewajiban Warga negara disebutkan dalam UUD 45 sebagai berikut :
a. Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan
b. Kewajiban membela negara
IV. Pedoman Hidup Masyarakat Dalam Kehidupan Sehari-hari
Setiap warga negara harus mentaati hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Ø Hukum tertulis antara lain :
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR (Tap MPR)
3. Undang-undang (UU)
4. Peraturan Pemerintah (PP)
5. Peraturan Presiden (Perpres)
6. Peraturan Daerah (Perda)
Ø Hukum Tidak Tertulis :
1. Hukum adat
2. Hukum kebiasaan
3. Berupa norma seperti norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Pengertian Filsafat
Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ = cinta, suka (loving), dan ’sophia’ = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. B. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Beberapa definisi kerana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf barat dan timur di bawah ini:
A. Plato (427sm - 347sm) seorang filsuf yunani yang termasyhur murid socrates dan guru aristoteles, mengatakan: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
B. Aristoteles (384 sm - 322sm) mengatakan : filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
C.Marcus tullius cicero (106 sm - 43sm) politikus dan ahli pidato romawi, merumuskan: filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
D. Al-farabi (meninggal 950m), filsuf muslim terbesar sebelum ibnu sina, mengatakan : filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
E. Immanuel kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan : filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: ” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) ” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) ” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
F. Prof. Dr. Fuad hasan, guru besar psikologi ui, menyimpulkan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
G. Drs h. Hasbullah bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Kesimpulan setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
A. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
B. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
2. Cara membatasi filsafat
Kerana sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan memplajari sejarah perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan (kronologis) menurut waktu masing masing. Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan manakah yang baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak dibicarakan persoalan-persoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat pendapat filsuf zaman klasik (plato dan aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan (al-farabi atau thimas aquinas), dan pendapat filsuf zaman ‘aufklarung’ (kant dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (jaspers dan marcel) dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodasi masing-masing. Begitu juga dalam soal-soal logika, metafisika, dan lain-lain.
3. Cabang-cabang filsafat
Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat. Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat. Ahi filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda. Cuba perhatikan sarjana-sarjana filsafat di bawah ini:
1. H. De vos menggolongkan filsafat sebagai berikut: ” metafisika, ” logika, ” ajaran tentang ilmu pengetahuan ” filsafat alam ” filsafat sejarah ” etika, ” estetika, dan ” antropologi.
2. Prof. Albuerey castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu: ” masalah teologis ” masalah metafisika ” masalah epistomologi ” masalah etika ” masalah politik, dan ” masalah sejarah
3 dr. Richard h. Popkin dan dr avrum astroll dalam buku mereka, philosophy made simple, membagi pembahasan mereka ke dalam tujuh bagian, yaitu: ” section i ethics ” section ii political philosophy ” section iii metaphysics ” section iv philosophy of religion ” section v theory of knowledge ” section vi logics ” secton vii contemporary philosophy,
4. Dr. M. J. Langeveld mengatakan: filsafat adalah ilmu kesatuan yang terdiri atas tiga lingkungan masalah: ” lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya) ” lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, logika) ” lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yang bernilai berdasarkan religi)
5. Aristoteles, murid plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan sistematis menjadi empat cabang, yaitu:
A) logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
B) filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup: ” ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini, ” ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam kuantitasnya, ” ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat.
C) filsafat praktis. Cabang ini mencakup: ” ilmu etika. Yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang ” ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara.
D) filsafat poetika (kesenian). Pembagian aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara teratur. Ajaran aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan dipergunakan. Walaupun pembagian ahli yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yaitu metafisika, logika, etika, estetika, epistemologi, dan filsafat-filsafat khusus lainnya.
1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.
4. Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.
5. Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6. Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya. Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya). Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika.
Kalau ngomong filsafat jujur aku bukan ahlinya, namun aku berusaha untuk belajar lebih baik dari hari ini , itu jelas setiap manusia juga akan mendambakan hal yang lebih baek dari yang sekarang ini, namun tidak semua orang bias berpikir demikian..
Layaknya kita yang selalu dapat kritikan dengan apa adanya ..
Namun aku yakin dengan pendirian yang sedikit kurang ini , untuk selalu memperbaiki diri disela sela kesalahan yang selalu ada dan selalu berjalandengan seiring berjalannya waktu…
Namun sungguh tiada salahnya kita manusia yang bodoh ini mencoba untuk memperbaiki diri dengan sedikit belajar dari apa yang belum kita ketahui, namun ketahuilah yang salah adalah ketidak inginan kita untuk mencoba dan rasa takut salah dengan apa yang akan kita belum lakukan untuk saat ini……”AKU BERPIKIR MAKA AKU ADA”

Filsafat hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang. (w2n_11)
Filsafat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Tema
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang.
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
Etika (tidak sama dengan etiket!) membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
Klasifikasi filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.
Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Filsafat Timur Tengah
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut begitu)dan Averroes.
Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'
Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dsb.
Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Sejarah Filsafat Barat
Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.
Klasik
"Pra Sokrates": Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes - Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles - Democritus - Anaxagoras
"Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles
Abad Pertengahan
"Skolastik": Thomas Aquino
Modern
Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William Wollaston - Anthony Collins - John Toland - Pierre Bayle - Denis Diderot - Jean le Rond d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire - Montesquieu - De Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff - Reimarus - Mendelssohn - Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling - Schopenhauer - De Maistre - De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte - JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche - Edmund Husserl
Kontemporer

Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre - Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - Feyerabend- Jacques Derrida - Mahzab Frankfurt





Diposkan oleh Arya Nugraha di 23:13

Kamis, 26 November 2009

HUKUM ADAT BALI VS HUKUM NASIONAL

Dalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak laki-laki, terutama anak laki-laki yang
sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya dengan pihak suami. Akan tetapi pada prakteknya, anak perempuan dapat dijadikan sebagai ahli waris dengan diubah statusnya menjadi anak laki-laki.
Unsur-unsur Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu di masukkan ke dalam lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan hukum negara agar hukum yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dalam kerangka bangsa Indonesia. Berbeda dengan hal tersebut, BW yang dijadikan sebagai dasar hukum perdata di Indonesia tidak mengatur tentang hukum pewarisan berdasarkan gender, dalam artian tidak ada strata gender dalam aturan hukum di dalamnya pewarisan. Dari uraian tersebut penelitian ini mengambil fokus kajian tentang Perbandingan Hukum Pewarisan menurut Hukum Adat Bali dan BW.
Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mempelajari berbagai bentuk literatur hukum termasuk diantaranya adalah: yurisprudensi, peraturan, penelitian, mailing list, bahan kajian hukum lainnya yang relevan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan hak waris menurut Adat Bali dan menurut BW serta untuk mengetahui kedudukan laki-laki dalam hal hak waris menurut BW dan Hukum Adat Bali.
Penelitian ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa Hukum Adat Bali dan BW sama-sama memiliki asas bahwa harta diwariskan setelah pewaris meninggal dunia dan asas penggantian tempat ahli waris. Perbedaan antara masing-masing hukum pewarisan adalah bahwa Hukum Adat Bali mengenal pewarisan jabatan atau kedudukan dalam masyarakat yang dapat diwariskan sebelum pewaris meninggal (dengan alasan ketidakmampuan pewaris untuk menjalankan tugasnya dalam masyarakat), sementara hal tersebut tidak diatur dalam BW. Dalam Hukum Adat Bali asas pewarisan yang dianut adalah patriarkhi dimana pihak laki-laki sebagai ahli waris, sementara dalam BW baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi ahli waris.

ILMU HUKUM (sebuah metode)

Apa metode ilmu hukum itu?

Tujuan setiap ilmu pada dasarnya adalah mencari atau merumuskan sistem dan memecahkan masalah. Setiap ilmu itu mengumpulkan bahan-bahan atau material, menyusunnya secara sitematis menurut sistem tertentu, menjelaskannya secara (sistematis) logis dan memecahkan permasalahan. Adapun yang dimaksudkan dengan sistem adalah suatu kesatuan yang terstruktur (a structured whole) yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang selalu mengadakan interaksi satu sama lain. Interaksi memungkinkan terjadinya konflik dan sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu terjadi berlarut-larut dengan menyediakan asas hukum untuk mengatsi konflik tersebut. Hukum merupakan sistem yang abstrak atau normatif.
Jadi untuk memperoleh suatu ilmu diperlukan suatu cara atau metode. Kata metode berasal dari kata Yunani metodos yang terdiri dari kata meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti dan hodos yang berarti penelitian, uraian ilmiah.
Metode ilmiah adalah sistem aturan atau cara yang menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu (Bakker, 1984: 10). Jadi metode ilmiah (scientific method) adalah suatu sistem atau cara untuk menghimpun, menyusunnya secara sistematis bahan-bahan atau material tersebut dan menjelaskannya serta memecahkan permasalahan-permasalahan untuk memperoleh suatu pengetahuan.
Syarat ilmiah suatu tulisan ilmiah sekurang-kurangnnya adalah bahwa penyusunan materinya harus sistematis, penjelasannya harus logis dan menggunakan penalaran yang induktif atau deduktif. Sekalipun tujuan ilmu itu pada dasarnya sama, tetapi materialnya atau bahan-bahannya tidak sama, sehingga metodenya pun tidak sama. Ilmu hukum berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum materialnya adalah bahan-bahan hukum. Inilah antara lain yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain.
Untuk mengetahui metode ilmu hukum perlu kiranya diketahui apa ilmu hukum itu serta ciri-cirinya.
Terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu hukum dari beberapa penulis. Terkait dengan hal ini bisa dibaca beberapa definisi hukum.
Apakah ilmu hukum itu ilmu? Di dalam literatur ilmu hukum sering dianggap bukan ilmu, bahkan dianggap sebagai seni tentang yang baik dan patut, ars boni et aequi. Ilmu hukum dianggap bukan ilmu dalam arti bukan merupakan ilmu tentang das Sein (Seinwissenschaft) oleh karena tidak bebas nilai, tidak menggunakan metode positif ilmiah dan bersifat normatif. Akan tetapi ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah ilmu, yaitu ilmu tentang das Sollen: Sollenwissenschaft.
Sifat metode ilmu hukum menurut standaardnya mempunyai dua fungsi. Metode ilmu hukum itu dianggap sebagai metode yang ditujukan kepada realisasi tujuan yang praktis maupun yang teoretis dan sebagai metode yang tidak hanya digunakan di dalam ilmu hukum, tetapi juga di dalam praktek hukum (v.der Velde, 1988:16).
Ilmu hukum sekurang-kurangnya menunjukkan ciri atau sifat sebagai berikut.
a. Ilmu hukum bersifat dogmatis
ilmu hukum lebih dikenal dengan dogmatik hukum atau ilmu hukum dogmatik. Mengapa ilmu hukum disebut sebagai dogmatik hukum ialah oleh karena ilmu hukum mempelajari hukum positif, sedang hukum positif dianggap sebagai dogma, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dibuktikan lebih lanjut, tidak boleh diganggu-gugat. Bukan berarti bahwa hukum positif itu sama sekali tidak boleh diubah, akan tetapi kalau mau mengubah memerlukan prosedur dan makan biaya. Kecuali itu kata “dogmatis” digunakan untuk menunjukkan metode tertentu, yaitu metode sintetis. Para ahli hukum perdata Perancis membedakan dua cara untuk menjelaskan materi yuridis, yaitu metode sintesis atau dogmatis dan metode analisis atau exegetis.
Metode sintesis adalah metode menggabungkan, yaitu suatu penalaran yang menggabungkan dua premisse sehingga menjadi suatu kesimpulan yang berbentuk suatu silogisme. Barangsiapa mencuri dihukum. Suto mencuri, maka Suto dihukum, Sebaliknya suatu analisis itu merupakan penalaran yang memisahkan. Suto dihukum oleh karena ada ketentuan bahwa siapa mencuri dihukum.
Ada yang bependapat bahwa ilmu hukum atau dogmatik hukum itu tidak mengenal metode analisis dalam pengertian analisis kritis, tetapi penjelasan atau penafsiran oleh karena pertanyaan-pertanyaan di dalam ilmu hukum hanya dapat dijawab oleh atau didalam hukum positif saja.
b. Ilmu hukum bersifat normatif
Ilmu hukum disebut sebagai ilmu hukum normatif oleh karena objeknya terdiri dari norma atau kaedah.
c. Ilmu hukum bersifat hermeneutis
Ilmu hukum bersifat menafsirkan. Dalam hal ini dikenal beberapa metode penemuan hukum. Tidak jarang bahwa metode interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum dianggap sebagai metode ilmu hukum. Metode penemuan hukum tersebut lebih merupakan metode yang digunakan dalam praktek hukum.
d. Ilmu hukum berorientasi yurisprudensial
Ilmu hukum merupakan ilmu hukum peradilan (rechtspraak wetenschap). Dengan demikian ilmu hukum itu berorientasi kepada yurisprudensi.
Menurut Paul Scholten (G.J.Scholten, 1949: 298) hukum dapat dilihat dari 3 segi yang kesemuanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi harus dipisahkan satu sama lain.
Pertama metode yang melihat hukum sebagai perilaku dan pertimbangan manusia yang mencoba menjelaskan secara historis-sosiologis kenyataan berhubungan dengan fenomena-fenomena lain. Ini merupakan metode sejarah hukum dan sosiologi hukum.
Metode ini menanyakan tentang terjadinya pranata dan gambaran-gambaran hukum, menjelaskan terjadinya secara causaal-genetis.Yang kedua adalah metode yuridis yang sesungguhnya yang melihat peraturan yang berlaku sebagai suatu kesatuan yang berarti yang dijelaskan dari dirinya sendiri.
Metode ini tidak menanyakan bagaimana terjadinya hukum, tetapi “apakah hukum itu?” dan sekaligus menjawab pertanyaan “apa yang sah?”. Apakah dalam konkretonya dalam hubungan tertentu harus terjadi menurut hukum? Bukan causaal-genetis, tetapi logis-sistematis.
Akhirnya adalah metode yang menilai hukum yang tidak menanyakan apa hukum itu, tetapi “apa/bagaimana hukum itu seharusnya” dan ukurannya diterapkan pada hukum yang berlaku. Ini merupakan metode filsafat hukum. Ia menanyakan tentang “hukumnya hukum” atau “keadilan”.

DAFTAR ACUAN
Bakker, Anton-, 1984, Metode metode filsafat, Ghalia Indonesia
Salam, Burhanuddin, H.- 1988, Logika Formal, Bina aksara, Jakarta
Suriasumantri, Jujun S.-, 1984, Filsafat Ilmu sebuah pengantar, Penerbit Sinar Harapan
Scholten, Paul -, 1945, De stuctuur der rechtswetenschappen, NV Noordhollandsche Uitgevers Matschappij, Amsterdam
Scholten, Paul-, Recht en gerechtigheid dalam G. J. Scholten ed., Verzamelde Geschriften van wijlen Paul Scholten
Scholten, G. J.-, ed., 1949, Verzamelde Geschriften van wijlen Prof. Mr. Paul Scholten, NV Uitgevers-Maatschappij, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle
Velden, W.G. van der-, 1988, disertasi, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Koninklijke Vermande B.V., Lellystad
(Source Sudikno Mertokusumo http://sudikno.blogspot.com/)

ASAS LEGALITAS

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.

Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai “tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya” tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.
Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.
Oleh karena itu, E Utrecht (1966) mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).

Kontroversi asas retroaktif
Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif setidak-tidaknya untuk (1) menegakkan prinsip-prinsip keadilan; (2) mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama; (3) mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan; dan (4) mencegah terjadinya kekosongan hukum. Dengan empat alasan tersebut, asas legalitas yang sering mengalami kebuntuan ketika berhadapan dengan realitas dapat disimpangi secara selektif. Menurut mantan jaksa penuntut dalam International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY), Marie Tuma (2001), asas retroaktif dapat diterapkan terhadap situasi kekacauan yang menghancurkan manusia.
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika (1) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan (2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana. Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun).
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1973) mengatakan, “Retroactive laws are considered to be objectionable and undesirable because it hurts our feeling of justice to inflict a sanction, especially a punishment, upon an individual because of an action or omission of which this individual could not know that it would entail this sanction.” Kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang tidak diperhitungkan dan tidak diketahui oleh pelakunya akan membawa pada pertanggungjawaban hukum inilah yang menjadi keberatan ahli lain terhadap keberadaan asas retroaktif.
Keberatan terhadap asas retroaktif semakin nyata setelah larangan penerapan hukum yang berlaku surut dicantumkan dalam konstitusi suatu negara sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak hanya itu, sebagaimana terbaca dalam putusan MK, asas retroaktif dengan segala bentuk dan alasan apa pun tidak dikehendaki karena dianggap dapat menimbulkan suatu bias hukum, mengabaikan kepastian hukum, menimbulkan kesewenang-wenangan, dan akhirnya akan menimbulkan political revenge (balas dendam politik). Inilah yang disebut bahwa asas retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam).
Penulis berpendapat, asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional; (3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan (4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Kontroversi penerapan asas retroaktif sulit diakhiri dalam waktu dekat dengan penjelasan akademis sebaik apa pun. Dugaan saya, ini bukan merupakan kasus permohonan pengujian undang-undang bermuatan asas retroaktif yang terakhir. Selalu saja ada ruang cukup untuk berdebat ketika asas retroaktif didiskusikan. (A Ahsin Thohari Pemerhati Hukum).