tag:blogger.com,1999:blog-4055736154460011272024-02-22T08:36:27.702-08:00Singgih Budi Utomo IISINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.comBlogger24125tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-29052076199267379012009-11-27T20:56:00.000-08:002009-11-27T20:56:22.951-08:00HUKUM ADATHUKUM ADAT<br />
<br />
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas<br />
Langsung ke: navigasi, cari<br />
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.<br />
<br />
Daftar isi [sembunyikan]<br />
1 Hukum adat di Indonesia <br />
2 Hukum adat di Indonesia <br />
2.1 Wilayah hukum adat di Indonesia <br />
2.2 Penegak hukum adat <br />
2.3 Aneka Hukum Adat <br />
2.4 Pengakuan Adat oleh Hukum Formal <br />
3 Daftar Pustaka <br />
<br />
Hukum adat di Indonesia<br />
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:<br />
Hukum Adat mengenai tata negara <br />
Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). <br />
Hukum Adat menganai delik (hukum pidana). <br />
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.<br />
<br />
Hukum adat di Indonesia<br />
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:<br />
Hukum Adat mengenai tata negara <br />
Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). <br />
Hukum Adat menganai delik (hukum pidana). <br />
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.<br />
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).<br />
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.<br />
<br />
Wilayah hukum adat di Indonesia<br />
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).<br />
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:<br />
Aceh <br />
Gayo dan Batak <br />
Nias dan sekitarnya <br />
Minangkabau <br />
Mentawai <br />
Sumatra Selatan <br />
Enggano <br />
Melayu <br />
Bangka dan Belitung <br />
Kalimantan (Dayak) <br />
Sangihe-Talaud <br />
Gorontalo <br />
Toraja <br />
Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar) <br />
Maluku Utara <br />
Maluku Ambon <br />
Maluku Tenggara <br />
Papua <br />
Nusa Tenggara dan Timor <br />
Bali dan Lombok <br />
Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran) <br />
Jawa Mataraman <br />
Jawa Barat (Sunda) <br />
Penegak hukum adat<br />
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.<br />
<br />
Aneka Hukum Adat<br />
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh<br />
Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen. <br />
Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit. <br />
Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa. <br />
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal<br />
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.<br />
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.<br />
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.<br />
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :<br />
Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1) <br />
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5). <br />
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4) <br />
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.<br />
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.<br />
Daftar Pustaka<br />
Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung. <br />
Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung. <br />
Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung. <br />
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press. <br />
Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984 <br />
Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung. <br />
Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta. <br />
Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993 <br />
Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993. <br />
Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia <br />
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat"<br />
Wikipedia.comSINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-85692241465889875502009-11-27T20:49:00.001-08:002009-11-27T20:49:54.290-08:00HAMHak asasi manusia<br />
<br />
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas<br />
Langsung ke: navigasi, cari<br />
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunya seseorang sejak ia besar dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1<br />
Contoh hak asasi manusia (HAM):<br />
Hak untuk hidup. <br />
Hak untuk memperoleh pendidikan. <br />
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain. <br />
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. <br />
Hak untuk mendapatkan pekerjaan.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-76091269460609328732009-11-27T18:10:00.000-08:002009-11-27T18:10:50.020-08:00HAK ANGKETMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online defenisi angket adalah penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat thd kegiatan pemerintah.<br />
<br />
Dan menurut UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 27 UU hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain hak angket merupakan salah satu hak kontrol DPR terhadap kebijakan ekseutif.<br />
Namun seringkali hak angket dipersepsikan sebagai "momok" politik oleh beberapa pihak. Lebih parah lagi ada yang berpikiran hak angket ini hanya sebagai tools untuk menjatuhkan wibawa pemerintah, misalnya dalam kasus Bank Century. Nah loh!!<br />
Itu sedikit penjelasan mengenai hak angket yang saya copy dari berbagai sumber. Mungkin salah. Ada yang mengoreksi?<br />
<br />
Saduran dari blog S.NaigolanSINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-3283562169400895992009-11-27T17:57:00.000-08:002009-11-27T17:57:13.702-08:00FALSAFAH HUKUMFILSAFAT HUKUM<br />
<br />
<br />
Oleh : Wasisto<br />
A.PENGERTIAN FILSAFAT<br />
Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) ,yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.Istilah “pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”(science).Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.<br />
Adanya perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.Harry Hamersma (1990:13) menyatakan filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut Harry Hamersma (1990:9) menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh filsafat.Pernyataan itu mendapat dukungan dari Magnis-Suseno (1992:20) menegaskan jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi.Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah hal ini disebabkan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah –masalah lama manusioa (Magnis-Suseno,1992: 20).<br />
Filasafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa – apa yang menarik perhatian manusia angapan ini diperkuat bahwa sejak abad ke 20 filsafat masih sibuk dengan masalah-masalah yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun yang lalu yang justru membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya sendiri”.Perbedaan filsafat dengan ilmu-ilmu yang lain adalah ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan..Kesimpulan dari perbedaan tersebut adalah filsafat tersebut adalah ilmu tanpa batas karena memiliki syarat-syarat sesuai dengan ilmu.Filsafat juga bisa dipandang sebagai pandangan hidup manusia sehingga ada filsafat sebagai pandangan hidup atau disebut dengan istilah way of life, Weltanschauung, Wereldbeschouwing, Wereld-en levenbeschouwing yaitu sebagai petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupanya dan filsafat juga sebagai ilmu dengan definisi seperti yang dijelaskan diatas.<br />
Syarat-syarat filsafat sebagai ilmu adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan yang menyeluruh dan universal, dan sebagai petunjuk arah kegiatan manusia dalam seluruh bidang kehidupannya.Penelahaan secara mendalam pada filsafat akan membuat filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif itu semua berarti bahwa filsafat melihat segala sesuatu persoalan dianalisis secara mendasar sampai keakar-akarnya.Ciri lain yang penting untuk ditambahkan adalah sifat refleksif krisis dari filsafat<br />
<br />
B.PEMBIDANGAN FILSAFAT DAN LETAK FILSAFAT HUKUM.<br />
Terdapat kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah, sekaipun bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang lengkap, sehingga belum dalam disebut sebagai cabang.Dalam demikian bidang-bidang demikian lebih tepat disebut sebagai masalah-masalah filsafat.Dari pembagian cabang filsafat dapat dilihat dari pembagian yang dilakukan oleh Kattsoff yang membagi menjadi 13 cabang filsafat.<br />
Seperti kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah laku.<br />
<br />
C.PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM<br />
Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.Maka obyek filsafat hukum adalah hukum.Definisi tentang hukum itu sendiri itu amat luas oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1986:2-4) keluasan arti hukum tersebut disebutkan dengan meyebutkan sembilan arti hukum.Dengan demikian jika kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu.Hukum itu juga dipandang sebagai norma yang mengandung nilai-nilai tertentu.Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai normaNorma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku.Norma hukum diperlukan untuk melengkapi norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.<br />
<br />
<br />
D.MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM <br />
Dari tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain manfaat filsafat hukum dapat dilihat.Filsafat memiliki karakteristik menyeluruh/Holistik dengan cara itu setiap orang dianggap untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Disamping itu juga memacu untuk berpikir kritis dan radikal atas sikap atau pendapat orang lain. Sehingga siketahui bahwa manfaat mempelajari filsafat hukum adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru.<br />
<br />
E.ILMU ILMU LAIN YANG BEROBJEK HUKUM<br />
Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, di artikan sebagai teori hukum namun dalam artian luas, yang mencakup politik hukum, filsafat hukum, dan teori hukum dalam arti sempit atau ilmu hukum.<br />
Dari pembidangan tersebut, filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Satjipto Raharjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, atau kombinasi dari ketigabidang tersebut. Karena itu, teori hukum dapat saja membicarakan sesuatu yang bersifat universal, dan tidak menutup kemungkinan membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu.<br />
<br />
Pengertian Hukum <br />
I. Hukum<br />
A. Pengertian <br />
Ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain : <br />
a. E. M. Meyers <br />
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman sebagai penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya. <br />
b. Immanuel Kant <br />
Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. <br />
c. S. M. Amin, S,H. <br />
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi serta bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara <br />
d. M. H. Tirto Atmidjaya, S.H. <br />
Hukum adalah semua aturan (Norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. <br />
B. Unsur-unsur Hukum <br />
Dari pengertian hukum yang dikemukakan ahli dapat disimpulkan bawa unsur-unsur hukum meliputi : <br />
a. Peraturan atau norma mengenai pergaulan manusia dalam pergaulan masyarakat. <br />
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib. <br />
c. Peraturan itu bersifat memaksa<br />
d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut tegas, berupa hukuman. <br />
C. Ciri-Ciri Hukum <br />
Hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : <br />
a. Adanya perintah atau larangan <br />
b. Perintah atau larangan itu harus ditaati oleh semua orang <br />
c. Pelanggarnya dikenakan sanksi. <br />
Menurut pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), macam-macam sanksi pidana : <br />
a. Pidana Pokok, yang terdiri atas : <br />
1. Pidana mati <br />
2. Pidana penjara : <br />
a. Seumur hidup <br />
b. Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun) atau pidana penjara selama waktu tertentu.<br />
c. Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu tahun <br />
d. Pidana denda (pengganti hukuman kurungan)<br />
e. Pidana tutupan<br />
b. Pidana yang terdiri atas : <br />
1. Pencabutan hak-hak tertentu <br />
2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu <br />
3. Pengumumaman keputusan hakim. <br />
D. Sifat Hukum <br />
Hukum bersifat memaksa dan mengatur terhadap subyek hukum, yaitu manusia yang bertempat tinggal diwilayah hukum tersebut. Sifat memaksa dan mengatur sangat diperlukan dalam penegakan hukum.<br />
E. Tujuan Hukum <br />
Hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan sebagai berikut:<br />
a. Mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada raktnya <br />
b. Untuk mencapai keadilan dan ketertiban<br />
c. Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai<br />
d. Memberikan petunjuk bagi orang-orang dalam pergaulan masyarakat <br />
e. Menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. <br />
F. Fungsi Hukum <br />
Menurut Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah sebagai berikut : <br />
a. Pengendalian sosial <br />
b. Memperlancar proses interaksi sosial<br />
c. Menata masyarakat. <br />
II. Penegakkan Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara <br />
Negara hukum adalah negara yang segala kegiatan untuk menyelenggarakan pemerintahannya didasarkan atas hukum yang berlaku dinegara tersebut : <br />
A. Manfaat hukum bagi Warga Negara :<br />
a. Memberikan kepastian hukum bagi warga negara. <br />
b. Melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara. <br />
c. Memberi rasa keadilan bagi warga negara. <br />
d. Menciptakan ketertiban dan ketentraman<br />
B. Penegakkan norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara, antara lain : <br />
a. Penegakkan norma agama, dalam kehidupan sehari-hari setiap pemeluk agama harus menegakkan norma-norma agama yang dianutnya. <br />
b. Penegakkan norma kesopanan, bersumber dari masyarakat. Pelanggaran atas norma ini akan mendapat pengucilan dari pergaulan masyarakat. <br />
c. Penegakkan norma kesusilaan, berasal dari setiap orang. Pelanggaran norma ini akan mendatangkan rasa malu dan penyesalan diri. <br />
d. Penegakkan norma hukum, berasal dari negara, adapun lembaga negara yang bertugas sebagai penegak hukum antara lain : <br />
1. Kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama memelihara keamanan didalam negeri. <br />
2. Kejaksaan ialah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. <br />
Kejaksaan dibagi menjadi : <br />
a. Kejaksaan Negeri (Wilayah kabupaten / Kotamadya) <br />
b. Kejaksaan Tinggi (Wilayah Propinsi)<br />
c. Kejaksaan Agung (Wilayah NKRI) <br />
3. Kehakiman ialah lembaga yang diberi kekuasaan untuk mengadili. <br />
Badan Kehakiman di bagi atas : <br />
a. Peradilan umum <br />
b. Peradilan agama <br />
c. Peradilan Militer <br />
d. Peradilan Tata Usaha <br />
III. Jaminan Hukum Atas Hak dan Kewajiban Warga Negara <br />
a. Jaminan Hukum atas hak-hak warga negara yaitu : <br />
a. Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan<br />
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan dan berkumpul <br />
c. Hak atas Kemerdekaan berserikat dan berkumpul<br />
d. Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah<br />
e. Hak ikut serta dalam membela negara<br />
f. Hak mendapat pengajaran <br />
g. Hak dipelihara oleh negara. <br />
B. Kewajiban Warga negara disebutkan dalam UUD 45 sebagai berikut : <br />
a. Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan <br />
b. Kewajiban membela negara <br />
IV. Pedoman Hidup Masyarakat Dalam Kehidupan Sehari-hari<br />
Setiap warga negara harus mentaati hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.<br />
Ø Hukum tertulis antara lain : <br />
1. UUD 1945 <br />
2. Ketetapan MPR (Tap MPR) <br />
3. Undang-undang (UU)<br />
4. Peraturan Pemerintah (PP) <br />
5. Peraturan Presiden (Perpres) <br />
6. Peraturan Daerah (Perda) <br />
Ø Hukum Tidak Tertulis : <br />
1. Hukum adat <br />
2. Hukum kebiasaan <br />
3. Berupa norma seperti norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.<br />
Pengertian Filsafat<br />
Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ = cinta, suka (loving), dan ’sophia’ = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. B. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Beberapa definisi kerana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf barat dan timur di bawah ini: <br />
A. Plato (427sm - 347sm) seorang filsuf yunani yang termasyhur murid socrates dan guru aristoteles, mengatakan: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli). <br />
B. Aristoteles (384 sm - 322sm) mengatakan : filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda). <br />
C.Marcus tullius cicero (106 sm - 43sm) politikus dan ahli pidato romawi, merumuskan: filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya. <br />
D. Al-farabi (meninggal 950m), filsuf muslim terbesar sebelum ibnu sina, mengatakan : filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. <br />
E. Immanuel kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan : filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: ” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) ” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) ” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi) <br />
F. Prof. Dr. Fuad hasan, guru besar psikologi ui, menyimpulkan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal. <br />
G. Drs h. Hasbullah bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Kesimpulan setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa: <br />
A. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa. <br />
B. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda. <br />
2. Cara membatasi filsafat<br />
Kerana sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan memplajari sejarah perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan (kronologis) menurut waktu masing masing. Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan manakah yang baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak dibicarakan persoalan-persoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat pendapat filsuf zaman klasik (plato dan aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan (al-farabi atau thimas aquinas), dan pendapat filsuf zaman ‘aufklarung’ (kant dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (jaspers dan marcel) dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodasi masing-masing. Begitu juga dalam soal-soal logika, metafisika, dan lain-lain. <br />
3. Cabang-cabang filsafat<br />
Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat. Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat. Ahi filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda. Cuba perhatikan sarjana-sarjana filsafat di bawah ini: <br />
1. H. De vos menggolongkan filsafat sebagai berikut: ” metafisika, ” logika, ” ajaran tentang ilmu pengetahuan ” filsafat alam ” filsafat sejarah ” etika, ” estetika, dan ” antropologi. <br />
2. Prof. Albuerey castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu: ” masalah teologis ” masalah metafisika ” masalah epistomologi ” masalah etika ” masalah politik, dan ” masalah sejarah <br />
3 dr. Richard h. Popkin dan dr avrum astroll dalam buku mereka, philosophy made simple, membagi pembahasan mereka ke dalam tujuh bagian, yaitu: ” section i ethics ” section ii political philosophy ” section iii metaphysics ” section iv philosophy of religion ” section v theory of knowledge ” section vi logics ” secton vii contemporary philosophy, <br />
4. Dr. M. J. Langeveld mengatakan: filsafat adalah ilmu kesatuan yang terdiri atas tiga lingkungan masalah: ” lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya) ” lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, logika) ” lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yang bernilai berdasarkan religi) <br />
5. Aristoteles, murid plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan sistematis menjadi empat cabang, yaitu: <br />
A) logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat. <br />
B) filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup: ” ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini, ” ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam kuantitasnya, ” ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat. <br />
C) filsafat praktis. Cabang ini mencakup: ” ilmu etika. Yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang ” ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara. <br />
D) filsafat poetika (kesenian). Pembagian aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara teratur. Ajaran aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan dipergunakan. Walaupun pembagian ahli yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yaitu metafisika, logika, etika, estetika, epistemologi, dan filsafat-filsafat khusus lainnya. <br />
1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia. <br />
2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah. <br />
3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk. <br />
4. Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek. <br />
5. Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan. <br />
6. Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya. Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya). Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika.<br />
Kalau ngomong filsafat jujur aku bukan ahlinya, namun aku berusaha untuk belajar lebih baik dari hari ini , itu jelas setiap manusia juga akan mendambakan hal yang lebih baek dari yang sekarang ini, namun tidak semua orang bias berpikir demikian..<br />
Layaknya kita yang selalu dapat kritikan dengan apa adanya ..<br />
Namun aku yakin dengan pendirian yang sedikit kurang ini , untuk selalu memperbaiki diri disela sela kesalahan yang selalu ada dan selalu berjalandengan seiring berjalannya waktu… <br />
Namun sungguh tiada salahnya kita manusia yang bodoh ini mencoba untuk memperbaiki diri dengan sedikit belajar dari apa yang belum kita ketahui, namun ketahuilah yang salah adalah ketidak inginan kita untuk mencoba dan rasa takut salah dengan apa yang akan kita belum lakukan untuk saat ini……”AKU BERPIKIR MAKA AKU ADA”<br />
<br />
Filsafat hukum<br />
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.<br />
filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang. (w2n_11)<br />
Filsafat<br />
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas<br />
Langsung ke: navigasi, cari<br />
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".<br />
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.<br />
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.<br />
<br />
Tema<br />
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.<br />
Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.<br />
Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang.<br />
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.<br />
Etika (tidak sama dengan etiket!) membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.<br />
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.<br />
Klasifikasi filsafat<br />
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.<br />
Filsafat Barat<br />
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.<br />
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.<br />
Filsafat Timur<br />
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.<br />
Filsafat Timur Tengah<br />
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut begitu)dan Averroes.<br />
Filsafat Islam<br />
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'<br />
Filsafat Kristen<br />
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dsb.<br />
Munculnya Filsafat<br />
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.<br />
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.<br />
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.<br />
Sejarah Filsafat Barat<br />
Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.<br />
Klasik<br />
"Pra Sokrates": Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes - Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles - Democritus - Anaxagoras<br />
"Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles<br />
Abad Pertengahan<br />
"Skolastik": Thomas Aquino<br />
Modern<br />
Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William Wollaston - Anthony Collins - John Toland - Pierre Bayle - Denis Diderot - Jean le Rond d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire - Montesquieu - De Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff - Reimarus - Mendelssohn - Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling - Schopenhauer - De Maistre - De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte - JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche - Edmund Husserl<br />
Kontemporer<br />
<br />
Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre - Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - Feyerabend- Jacques Derrida - Mahzab Frankfurt<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Diposkan oleh Arya Nugraha di 23:13SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-86031001040245995502009-11-26T02:22:00.001-08:002009-11-26T02:23:03.556-08:00HUKUM ADAT BALI VS HUKUM NASIONALDalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak laki-laki, terutama anak laki-laki yang <br />
sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya dengan pihak suami. Akan tetapi pada prakteknya, anak perempuan dapat dijadikan sebagai ahli waris dengan diubah statusnya menjadi anak laki-laki. <br />
Unsur-unsur Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu di masukkan ke dalam lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan hukum negara agar hukum yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dalam kerangka bangsa Indonesia. Berbeda dengan hal tersebut, BW yang dijadikan sebagai dasar hukum perdata di Indonesia tidak mengatur tentang hukum pewarisan berdasarkan gender, dalam artian tidak ada strata gender dalam aturan hukum di dalamnya pewarisan. Dari uraian tersebut penelitian ini mengambil fokus kajian tentang Perbandingan Hukum Pewarisan menurut Hukum Adat Bali dan BW.<br />
Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang mempelajari berbagai bentuk literatur hukum termasuk diantaranya adalah: yurisprudensi, peraturan, penelitian, mailing list, bahan kajian hukum lainnya yang relevan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan hak waris menurut Adat Bali dan menurut BW serta untuk mengetahui kedudukan laki-laki dalam hal hak waris menurut BW dan Hukum Adat Bali.<br />
Penelitian ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa Hukum Adat Bali dan BW sama-sama memiliki asas bahwa harta diwariskan setelah pewaris meninggal dunia dan asas penggantian tempat ahli waris. Perbedaan antara masing-masing hukum pewarisan adalah bahwa Hukum Adat Bali mengenal pewarisan jabatan atau kedudukan dalam masyarakat yang dapat diwariskan sebelum pewaris meninggal (dengan alasan ketidakmampuan pewaris untuk menjalankan tugasnya dalam masyarakat), sementara hal tersebut tidak diatur dalam BW. Dalam Hukum Adat Bali asas pewarisan yang dianut adalah patriarkhi dimana pihak laki-laki sebagai ahli waris, sementara dalam BW baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi ahli waris.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-39915654154223728342009-11-26T02:13:00.000-08:002009-11-26T02:13:30.303-08:00ILMU HUKUM (sebuah metode)Apa metode ilmu hukum itu?<br />
<br />
Tujuan setiap ilmu pada dasarnya adalah mencari atau merumuskan sistem dan memecahkan masalah. Setiap ilmu itu mengumpulkan bahan-bahan atau material, menyusunnya secara sitematis menurut sistem tertentu, menjelaskannya secara (sistematis) logis dan memecahkan permasalahan. Adapun yang dimaksudkan dengan sistem adalah suatu kesatuan yang terstruktur (a structured whole) yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang selalu mengadakan interaksi satu sama lain. Interaksi memungkinkan terjadinya konflik dan sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu terjadi berlarut-larut dengan menyediakan asas hukum untuk mengatsi konflik tersebut. Hukum merupakan sistem yang abstrak atau normatif.<br />
Jadi untuk memperoleh suatu ilmu diperlukan suatu cara atau metode. Kata metode berasal dari kata Yunani metodos yang terdiri dari kata meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti dan hodos yang berarti penelitian, uraian ilmiah.<br />
Metode ilmiah adalah sistem aturan atau cara yang menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu (Bakker, 1984: 10). Jadi metode ilmiah (scientific method) adalah suatu sistem atau cara untuk menghimpun, menyusunnya secara sistematis bahan-bahan atau material tersebut dan menjelaskannya serta memecahkan permasalahan-permasalahan untuk memperoleh suatu pengetahuan.<br />
Syarat ilmiah suatu tulisan ilmiah sekurang-kurangnnya adalah bahwa penyusunan materinya harus sistematis, penjelasannya harus logis dan menggunakan penalaran yang induktif atau deduktif. Sekalipun tujuan ilmu itu pada dasarnya sama, tetapi materialnya atau bahan-bahannya tidak sama, sehingga metodenya pun tidak sama. Ilmu hukum berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum materialnya adalah bahan-bahan hukum. Inilah antara lain yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain.<br />
Untuk mengetahui metode ilmu hukum perlu kiranya diketahui apa ilmu hukum itu serta ciri-cirinya.<br />
Terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu hukum dari beberapa penulis. Terkait dengan hal ini bisa dibaca beberapa definisi hukum.<br />
Apakah ilmu hukum itu ilmu? Di dalam literatur ilmu hukum sering dianggap bukan ilmu, bahkan dianggap sebagai seni tentang yang baik dan patut, ars boni et aequi. Ilmu hukum dianggap bukan ilmu dalam arti bukan merupakan ilmu tentang das Sein (Seinwissenschaft) oleh karena tidak bebas nilai, tidak menggunakan metode positif ilmiah dan bersifat normatif. Akan tetapi ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah ilmu, yaitu ilmu tentang das Sollen: Sollenwissenschaft.<br />
Sifat metode ilmu hukum menurut standaardnya mempunyai dua fungsi. Metode ilmu hukum itu dianggap sebagai metode yang ditujukan kepada realisasi tujuan yang praktis maupun yang teoretis dan sebagai metode yang tidak hanya digunakan di dalam ilmu hukum, tetapi juga di dalam praktek hukum (v.der Velde, 1988:16).<br />
Ilmu hukum sekurang-kurangnya menunjukkan ciri atau sifat sebagai berikut.<br />
a. Ilmu hukum bersifat dogmatis<br />
ilmu hukum lebih dikenal dengan dogmatik hukum atau ilmu hukum dogmatik. Mengapa ilmu hukum disebut sebagai dogmatik hukum ialah oleh karena ilmu hukum mempelajari hukum positif, sedang hukum positif dianggap sebagai dogma, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dibuktikan lebih lanjut, tidak boleh diganggu-gugat. Bukan berarti bahwa hukum positif itu sama sekali tidak boleh diubah, akan tetapi kalau mau mengubah memerlukan prosedur dan makan biaya. Kecuali itu kata “dogmatis” digunakan untuk menunjukkan metode tertentu, yaitu metode sintetis. Para ahli hukum perdata Perancis membedakan dua cara untuk menjelaskan materi yuridis, yaitu metode sintesis atau dogmatis dan metode analisis atau exegetis.<br />
Metode sintesis adalah metode menggabungkan, yaitu suatu penalaran yang menggabungkan dua premisse sehingga menjadi suatu kesimpulan yang berbentuk suatu silogisme. Barangsiapa mencuri dihukum. Suto mencuri, maka Suto dihukum, Sebaliknya suatu analisis itu merupakan penalaran yang memisahkan. Suto dihukum oleh karena ada ketentuan bahwa siapa mencuri dihukum.<br />
Ada yang bependapat bahwa ilmu hukum atau dogmatik hukum itu tidak mengenal metode analisis dalam pengertian analisis kritis, tetapi penjelasan atau penafsiran oleh karena pertanyaan-pertanyaan di dalam ilmu hukum hanya dapat dijawab oleh atau didalam hukum positif saja.<br />
b. Ilmu hukum bersifat normatif<br />
Ilmu hukum disebut sebagai ilmu hukum normatif oleh karena objeknya terdiri dari norma atau kaedah.<br />
c. Ilmu hukum bersifat hermeneutis<br />
Ilmu hukum bersifat menafsirkan. Dalam hal ini dikenal beberapa metode penemuan hukum. Tidak jarang bahwa metode interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum dianggap sebagai metode ilmu hukum. Metode penemuan hukum tersebut lebih merupakan metode yang digunakan dalam praktek hukum.<br />
d. Ilmu hukum berorientasi yurisprudensial<br />
Ilmu hukum merupakan ilmu hukum peradilan (rechtspraak wetenschap). Dengan demikian ilmu hukum itu berorientasi kepada yurisprudensi.<br />
Menurut Paul Scholten (G.J.Scholten, 1949: 298) hukum dapat dilihat dari 3 segi yang kesemuanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi harus dipisahkan satu sama lain.<br />
Pertama metode yang melihat hukum sebagai perilaku dan pertimbangan manusia yang mencoba menjelaskan secara historis-sosiologis kenyataan berhubungan dengan fenomena-fenomena lain. Ini merupakan metode sejarah hukum dan sosiologi hukum.<br />
Metode ini menanyakan tentang terjadinya pranata dan gambaran-gambaran hukum, menjelaskan terjadinya secara causaal-genetis.Yang kedua adalah metode yuridis yang sesungguhnya yang melihat peraturan yang berlaku sebagai suatu kesatuan yang berarti yang dijelaskan dari dirinya sendiri.<br />
Metode ini tidak menanyakan bagaimana terjadinya hukum, tetapi “apakah hukum itu?” dan sekaligus menjawab pertanyaan “apa yang sah?”. Apakah dalam konkretonya dalam hubungan tertentu harus terjadi menurut hukum? Bukan causaal-genetis, tetapi logis-sistematis.<br />
Akhirnya adalah metode yang menilai hukum yang tidak menanyakan apa hukum itu, tetapi “apa/bagaimana hukum itu seharusnya” dan ukurannya diterapkan pada hukum yang berlaku. Ini merupakan metode filsafat hukum. Ia menanyakan tentang “hukumnya hukum” atau “keadilan”.<br />
<br />
DAFTAR ACUAN<br />
Bakker, Anton-, 1984, Metode metode filsafat, Ghalia Indonesia<br />
Salam, Burhanuddin, H.- 1988, Logika Formal, Bina aksara, Jakarta<br />
Suriasumantri, Jujun S.-, 1984, Filsafat Ilmu sebuah pengantar, Penerbit Sinar Harapan<br />
Scholten, Paul -, 1945, De stuctuur der rechtswetenschappen, NV Noordhollandsche Uitgevers Matschappij, Amsterdam<br />
Scholten, Paul-, Recht en gerechtigheid dalam G. J. Scholten ed., Verzamelde Geschriften van wijlen Paul Scholten<br />
Scholten, G. J.-, ed., 1949, Verzamelde Geschriften van wijlen Prof. Mr. Paul Scholten, NV Uitgevers-Maatschappij, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle<br />
Velden, W.G. van der-, 1988, disertasi, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Koninklijke Vermande B.V., Lellystad<br />
(Source Sudikno Mertokusumo http://sudikno.blogspot.com/)SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-66544064762371626992009-11-26T02:10:00.000-08:002009-11-26T02:10:51.106-08:00ASAS LEGALITASAsas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.<br />
<br />
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.<br />
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai “tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya” tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.<br />
Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.<br />
Oleh karena itu, E Utrecht (1966) mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).<br />
<br />
Kontroversi asas retroaktif<br />
Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif setidak-tidaknya untuk (1) menegakkan prinsip-prinsip keadilan; (2) mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama; (3) mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan; dan (4) mencegah terjadinya kekosongan hukum. Dengan empat alasan tersebut, asas legalitas yang sering mengalami kebuntuan ketika berhadapan dengan realitas dapat disimpangi secara selektif. Menurut mantan jaksa penuntut dalam International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY), Marie Tuma (2001), asas retroaktif dapat diterapkan terhadap situasi kekacauan yang menghancurkan manusia.<br />
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika (1) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan (2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana. Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun).<br />
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1973) mengatakan, “Retroactive laws are considered to be objectionable and undesirable because it hurts our feeling of justice to inflict a sanction, especially a punishment, upon an individual because of an action or omission of which this individual could not know that it would entail this sanction.” Kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang tidak diperhitungkan dan tidak diketahui oleh pelakunya akan membawa pada pertanggungjawaban hukum inilah yang menjadi keberatan ahli lain terhadap keberadaan asas retroaktif.<br />
Keberatan terhadap asas retroaktif semakin nyata setelah larangan penerapan hukum yang berlaku surut dicantumkan dalam konstitusi suatu negara sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak hanya itu, sebagaimana terbaca dalam putusan MK, asas retroaktif dengan segala bentuk dan alasan apa pun tidak dikehendaki karena dianggap dapat menimbulkan suatu bias hukum, mengabaikan kepastian hukum, menimbulkan kesewenang-wenangan, dan akhirnya akan menimbulkan political revenge (balas dendam politik). Inilah yang disebut bahwa asas retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam).<br />
Penulis berpendapat, asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional; (3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan (4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.<br />
Kontroversi penerapan asas retroaktif sulit diakhiri dalam waktu dekat dengan penjelasan akademis sebaik apa pun. Dugaan saya, ini bukan merupakan kasus permohonan pengujian undang-undang bermuatan asas retroaktif yang terakhir. Selalu saja ada ruang cukup untuk berdebat ketika asas retroaktif didiskusikan. (A Ahsin Thohari Pemerhati Hukum).SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-82908841449281367582009-11-26T02:08:00.000-08:002009-11-26T02:08:22.272-08:00ASAS PRADUGA TAK BERSALAHPerkembangan Asas Praduga Tak Bersalah<br />
<br />
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.<br />
Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.<br />
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).<br />
Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.<br />
Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.<br />
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]<br />
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.<br />
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah<br />
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.<br />
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.<br />
Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.<br />
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.<br />
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:<br />
1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;<br />
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;<br />
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;<br />
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;<br />
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;<br />
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;<br />
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;<br />
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.<br />
Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.<br />
Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis<br />
Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).<br />
HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).<br />
Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan: “Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.<br />
Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]<br />
Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]<br />
Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”. Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.<br />
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.<br />
Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.<br />
Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah<br />
Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.<br />
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.<br />
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.<br />
Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.<br />
Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]<br />
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]<br />
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.<br />
<br />
ENDNOTE:<br />
1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD<br />
[2] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].<br />
[3] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81<br />
[4] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30<br />
[5] ibid<br />
[6] Caherine Elliot, “French Criminal Law”; Wilan Publishing Coy; 2003; page………..<br />
[7] Catherine Elliot, op cit.; p.11-12<br />
[8] Braithwaite,di dalam karyanya, ” Shame and Integration Process”<br />
[9] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan<br />
[10] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.<br />
[11] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003; Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.<br />
[12] Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributive, distributive, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan kepad a kewajiban seseorang untuk mereparasi (memperbaiki) kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir terutama setelah munculnya pendekaran perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada ”pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu kesatuan kehidupan kemasuyarakatan”. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.<br />
[13] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgevers; 2003;p.21<br />
[14] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.<br />
<br />
<br />
<br />
[Source Romli Atmasasmita Gurubesar Hukum Pidana Internasional Unpad].SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-28622861137348400162009-11-26T02:04:00.000-08:002009-11-26T02:04:57.056-08:00ASAS PEMBUKTIAN TERBALIKSejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan. <br />
ICCPR tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif.<br />
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).<br />
Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.<br />
Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri atau impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.<br />
Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.<br />
Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001) dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut tehnis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.<br />
Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).<br />
Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.<br />
Kesimpulan<br />
Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap. <br />
Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi. <br />
<br />
Prof. Indriyanto Senoadji<br />
Guru Besar FH Universitas Krisna Dwipayana dan Pengajar PPs FH UI.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-36811979860344742992009-11-26T02:03:00.000-08:002009-11-26T02:03:06.084-08:00ASAS NON-RETROAKTIFAsas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.” <br />
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.<br />
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.<br />
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.<br />
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.<br />
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.<br />
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.<br />
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.<br />
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).<br />
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka – sekalipun dengan pro dan kontra – tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan – dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).<br />
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).<br />
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.<br />
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi<br />
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.<br />
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M. Tulisan ini dimuat dalam Buku “Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi” yang diterbitkan oleh MTI akhir Maret 2005 http://www.transparansi.or.idSINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-69879213991494254092009-11-26T01:59:00.000-08:002009-11-26T01:59:16.648-08:00LEGAL REASONING1. Pengertian<br />
<br />
Pengertian sederhana Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum?<br />
Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.<br />
Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki.<br />
Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai: (i) reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada saat ini, atau (ii) reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang dihadapkan kepada hakim saat ini.<br />
Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana hakim memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain?<br />
Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal reasoning yaitu:<br />
Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang terjadi. <br />
Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi. <br />
Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek. <br />
2. Kerangka Analitis tentang Legal Reasoning<br />
a. Reasoning melalui contoh<br />
Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case law (common law).<br />
Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di Amerika Serikat sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan kemampuannya untuk melihat kasus yang di adilinya.<br />
Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk mencari perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu. Dalam perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya berupaya melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat melihat kasus yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan mengenai penerapan legal reasoning yang didasarkan pada doktrin “stare decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap mengacu kepada preseden dari kasus terdahulu.<br />
Di Inggris, Prof. Montrose misalnya telah menyatakan secara explisit bahwa dalam kerangka analitis reasoning melalui contoh, pandangan kebanyakan hakim di Inggris, terutama pada dekade akhir-akhir ini, adalah bahwa praktek peradilan Inggris modern membatasi kebebasan hakim Inggris untuk mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan terdahulu.<br />
Sementara Mr. Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari penerapan doktrin preseden tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering harus melihat hukum melalui mata para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tidak sepakat bahwa tugas hakim di Amerika hanya untuk melihat hukum sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan menurutnya melihat hukum melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata para pendahulunya tidak akan membawa kepada pola yang secara dominan merupakan penolakan dari reasoning yang diajukan oleh hakim terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak terdapat alasan untuk membedakan peristiwa yang terjadi. <br />
B. Reasoning Kasus per Kasus<br />
Legal reasoning yang telah tersusun melalui kasus yang sudah diputuskan oleh hakim terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang terjadi sesudahnya dengan kegiatan mencari dan membangun legal reasoning secara kasus per kasus. Jadi meskipun telah terjadi suatu kasus yang sejenis berkali-kali, namun dalam menyusun argumentasi di dalam opininya, hakim harus mendasarkan legal reasoning secara khusus untuk setiap kasus tertentu.<br />
3. Legal Reasoning Dalam Penyusunan Konsep Hukum<br />
Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning ini terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan kasus yang lainnya dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep hukum (legal concepts). Memang benar bahwa persamaan antara suatu kasus dengan kasus lain adalah terlihat dalam susunan kata-kata, dan ketidakmampuan untuk mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan menghambat perubahan hukum.<br />
Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu mempunyai ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil itu. Sebagaimana diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu metofora, bahwa: “suatu perkataan dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan berakhir dengan memperbudaknya”.<br />
Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus menjadi perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk memperhatikan pentingnya kesamaan atau perbedaan, maka perbandingan akan timbul dengan kata-kata. Apabila kata-kata itu akhirnya diterima, maka ia akan menjadi konsep hukum.<br />
Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi lingkaran konsepsi hukum sebagai berikut:<br />
Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi sebagaimana diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus yang lain, kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit banyaknya menjadi suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh terus berlangsung untuk mengklasifikasikan hal-hal yang ada di luar dan di dalam konsep tersebut. Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi keruntuhan konsep tersebut, apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan dan membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi diperlukan, dan dimulai lagi penciptaan konsep hukum yang baru, dan kemudian mengalami reasoning kembali, demikian seterusnya yang terjadi sebagai suatu lingkaran yang tak terputus.<br />
4. Sifat Induktif dan Deduktif Dalam Legal Reasoning<br />
Adalah telah menjadi pendapat yang umum bahwa proses reasoning dengan berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan bahwa reasoing dengan menggunakan undang-undang adalah cara berpikir deduktif. Namun pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan case law konsep yang tercipta di dapat dari contoh-contoh yang tertentu. Hal ini tidak mencerminkan induktif sepenuhnya, tetapi arahnya memang dari khusus ke umum. Telah dibuktikan bahwa ketentuan umum mendapatkan artinya dalam hubungan-hubungan yang terjadi pada kasus-kasus khusus. Akan tetapi ia juga mempunyai kemampuan untuk mendorong implikasi dari kasus yang menjadi hipotesis yang dibawanya dan bahkan dengan kemampuan untuk mendorong kategori yang lain yang mempunyai kesamaan. Kata-kata “bahaya yang ada” misalnya mengandung arti “dekat”, “terkait” dan juga “jelas”. Dengan demikian kata-kata ini mendorong suatu contoh kasus yang terjadi untuk dimasukkan ke dalam kategori yang sama, dan jika itu terjadi maka akan merupakan cara reasoning yang deduktif.<br />
Sedangkan dalam penerapan reasoning melalui undang-undang adalah datang dari arah yang berlawanan. Suatu kata-kata telah disusun di dalam undang-undang, hal ini tidak dapat dipandang ringan karena kata-kata tersebut merupakan kemauan pembuat undang-undang (legislatif). Pihak legislatif mungkin saja menyimpan suatu kasus tertentu di dalam pikirannya, tetapi yang dikeluarkan adalah kata-kata yang berbentuk terminologi umum.<br />
Jadi dalam pelaksanaan undang-undang, keinginan legislatif adalah penting, tetapi kata-kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti. Laporan-laporan dan catatan dalam penyusunan undang-undang mungkin dapat menolong. Rancangan-rancangan undang-undang terdahulu akan menunjukkan perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk menemukan keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam menafsirkan undang-undang untuk menyusun legal reasoning melalui undang-undang.<br />
Dengan demikian dipandang bahwa penyusunan legal reasoning berdasarkan penafsiran undang-undang adalah melibatkan cara berpikir yang deduktif. Karena ketetapan yang diambil dari kata-kata yang ada di dalam undang-undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus tertentu secara khusus.<br />
Dalam mengkaji suatu peristiwa dan/ atau perbuatan hukum, proses legal reasoning diperlukan untuk menjaga agar peristiwa atau perbuatan hukum tersebut tetap berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku. Dalam penyusunan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun dalam penyusunan peraturan internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-undang atau peraturan lainnya. Demikian pula, untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum yang terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan, untuk mendapatkan esensi dari sengketa agar dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya dalam lingkup hukum yang berlaku. <br />
5. Peranan Interpretasi dalam Legal Reasoning<br />
Pentingnya peranan interpretasi ini timbul dari berbagai dasar di antaranya, bahwa interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari penyelesaian, atau setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan terhadap suatu problem ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian perundang-undangan. Jika suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang menjadi penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Peranan pandangan ahli filsafat hukum (di antaranya Ronald Dworkin) sangat membantu dalam memperkenalkan teori hukum sebagai “interpretative concept” yang membawa pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli teori hukum dalam memberi kontribusi terhadap peranan interpretasi dalam legal reasoning.<br />
Interpretasi merupakan suatu konsep Janus-faced, yaitu yang harus mempertimbangkan dua arah, backward dan forward looking, yaitu: mencari dasar ke belakang (konsep hukum yang sudah ada) dan merancang ke depan (menyusun konsep baru), dengan kata lain interpretasi tentang sesuatu adalah interpretasi tentang “sesuatu“, haruslah terlebih dahulu dianggap bahwa ada sesuatu, yang original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran yang absah itu dilaksanakan, jadi harus dibedakan antara interpretasi dengan penciptaan murni, akan tetapi interpretasi juga bukan hanya merupakan upaya untuk melakukan reproduksi tetapi juga untuk membuat sesuatu atau mengambil sesuatu keluar dari yang aslinya. <br />
Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi mempunyai peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu: (i) dalam reasoning untuk menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/ kasus yang terjadi, dan (ii) dalam menyusun reasoning dari substansi hukum yang ada untuk mendapatkan keputusan dalam masalah/ kasus yang sedang dihadapi.<br />
Di Amerika Serikat terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan konstitusi, hakim harus berupaya untuk menelusuri bagaimana ketentuan-ketentuan dalam konstitusi itu dari semula diartikan oleh pihak yang mengesahkannya. Pendekatan ini menyatakan semakin dekat dengan pengertian aslinya maka semakin “benar” penafsiran tersebut (dikemukakan oleh Bork, 1990). Pendekatan ini menekankan pentingkan konsep backward-looking. Sedangkan Levinson (1982) menekankan pentingnya inovasi dan menolak originalisme yang diajukan Bork. Levinson berpendapat bahwa konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena adanya ketidakpastian bahasa dalam undang-undang (konstitusi).<br />
Seberapa besar peranan persyaratan bahwa hakim harus yakin terhadap sesuatu yang harus ditafsirkan menjadi hambatan dalam penafsiran hukum, dan adakah hambatan lainnya bagi hakim dalam penafsiran hukum?<br />
Menurut Owen Fiss (1982) aturan disiplin dalam bentuk standar yang diterapkan bagi profesi hakim menjadi penghambat terhadap penafsiran yuridis yang akan dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara, demikian pula peraturan tentang penggunaan bahasa yang dari semula sudah merupakan hambatan para pengguna untuk mendapatkan arti yang sebenarnya dari teks undang-undang.<br />
Raz (1996) menolak dua jenis teori umum tentang interpretasi, yaitu teori “operasional” (recipe-like theories) yang dirancang untuk menjadi panduan bagi hakim untuk mendapatkan putusan yang tepat bagi kasus yang diadilinya, dan teori yang meskipun tidak ditujukan sebagai panduan bagi hakim dalam mengambil keputusan yang tepat akan tetapi dirancang untuk memberikan kriteria untuk membedakan interpretasi yang baik dengan interpretasi yang tidak baik. Akan tetapi Ronald Dworkin mendukung adanya teori umum tentang interpretasi yang dapat digunakan kegiatan penafsiran hukum. Bagi Dworkin, adalah merupakan tujuan semua interpretasi hukum untuk secara konstruktif menafsirkan praktek hukum di dalam masyarakat, dengan menekankan tujuannya berupa: membuat suatu kemungkinan adanya contoh terbaik yang dapat diambil dari interpretasi, akan tetapi menurut Dworkin hal itu bukan berarti memberikan panduan yang recipe-like yang memandu hakim langkah demi langkah yang terancang untuk memberikan keputusan yang terbaik.<br />
Teori tentang penafsiran yang lazim dianut di Indonesia berlatarbelakang dari ilmu hukum dogmatis yang bertolak dari tata hukum yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka memberi arti agar dapat dimengerti secara umum melalui interpretasi yang bertujuan memberi makna terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalam undang-undang. Interpretasi merupakan metode yang khas bagi ilmu hukum. Namun, di Indonesia telah ada pendapat yang berpengaruh bahwa adakalanya penafsiran undang-undang tidak diperlukan, sebab teks undang-undang itu sudah terang dengan sendirinya, mengerti kalimat atau kata dalam undang-undang berarti sudah menafsirkannya. Ada beberapa jenis penafsiran yang ada dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu:<br />
a. Penafsiran penambah <br />
Akan tetapi terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap undang-undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti yang samar-samar, penafsiran yang utama ada di dalam penjelasan undang-undang itu sendiri.<br />
B. Penafsiran pelengkap<br />
Memahami klausula dalam undang-undang dengan melakukan interpretasi penambah, ternyata belum lengkap, karena kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak mungkin keseluruhannya ditentukan oleh undang-undang, hanya sebagian yang sesuai dengan rasa keadilan yang muncul dari teks undang-undang, sedangkan sebagian lagi tetap membisu di dalam teks itu. Untuk itu diperlukan pencapaian untuk sampai kepada pengertian undang-undang yang sesungguhnya sehingga benar-benar dimengerti bagaimana undang-undang tersebut berfungsi dalam kehidupan. Ilmu hukum bukan suatu sistem yang tertutup melainkan merupakan sistem yang terbuka bagi pertimbangan-pertimbangan baru. Suatu penafsiran pelengkap didapatkan melalui suatu penelitian di lapangan, untuk mendapat informasi tambahan bagi suatu penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang untuk memikirkan semua situasi yang dapat muncul.<br />
c. Penafsiran budaya<br />
Di samping kedua penafsiran tersebut di atas masih terdapat suatu penafsiran yang bersifat total, yang disebut dengan penafsiran budaya, yaitu penafsiran perkara/ kasus di bawah pengaruh keyakinan suatu masyarakat tertentu yang bukan bersifat politis akan tetapi bersifat sosial etis, yang menentukan apakah suatu perkara/ kasus atau masalah merupakan hal yang layak di masyarakat tertentu. Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan sosial etis sudah ada sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen yuridis yang cocok. Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus digabungkan dengan argumen yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang meyakinkan, dengan demikian argumen tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak.<br />
6. Peranan Koherensi dalam Legal Reasoning<br />
Beberapa ahli berpendapat (Kress, 1984; Marmor, 1992; Raz, 1994) bahwa teori koherensi yang mempunyai hubungan sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini mendapatkan tempatnya di dalam filsafat hukum. Teori koherensi dalam hukum juga mempunyai pengaruh dalam konteks teori koherensi tentang kebenaran, kepercayaan yang sah, etika dan keadilan. Teori Dworkin tentang hukum sebagai integritas sebagai pendukung teori koherensi tempaknya menjawab pertanyaan ini secara lengkap: koherensi, dalam penafsiran hukum sebagaimana berbicara dengan satu suara dengan integritas mengharuskan adanya nilai yang ditengarai mempunyai hubungan yang relevan dengan kenyataan hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim untuk mencapai suatu keputusan yang adil. Harus diperhatikan pula bahwa ketentuan-ketentuan hukum seperti doktrin preseden, argumen dari analogi, dan keharusan memperlakukan suatu kasus sama seperti kasus sebelumnya tampaknya diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang koherensi. <br />
Mac Cormick (1984) memandang koherensi dalam bentuk kesatuan azas-azas pada sistem hukum, dan menyatakan bahwa koherensi dari satu kesatuan norma hukum terdiri dari keterhubungan mereka baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau nilai-nilai yang sama, atau dalam bentuk pemenuhan suatu prinsip atau prinsip-prinsip yang sama. Raz (1994) juga memandang koherensi dalam hukum dalam bentuk kesatuan prinsip. Semakin menyatu prinsip-prinsip yang mendasari putusan hakim dan tindakan legislatif dalam menyusun undang-undang, semakin koheren hukum yang dicapai.<br />
Menurut Raz (1994) teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan adanya “dasar”atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dalam karakternya secara krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi di wilayah filsafat lainnya. <br />
Raz berpendapat bahwa putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus yang secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang berlaku, hakim harus menanamkan di dalam pikirannya bahwa jika mereka memilih suatu jalan/ cara terdahulu, dan muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka pada perselisihan hukum yang mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi terhadap hukum dan karena itu menciptakan ketidakseimbangan dengan doktrin hukum yang berlaku, maka hal ini tidak berarti bahwa legislator harus menyusun hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di masa lalu, karena legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam memperkenalkan peraturan yang baru, dan untuk itu dapat mereformasi seluruh area hukum terkait.<br />
Sebaliknya hakim hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah yang timbul dalam suatu kasus hukum yang dibawa ke depannya, dan tidak berwenang untuk melakukan reformasi hukum secara radikal. Hal ini menjadi alasan bahwa hakim harus memberi bobot yang lebih bagi koherensi dengan hukum yang berlaku dalam memutuskan kasus yang dibawa kehadapannya.<br />
Namun, Dworkin mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ini, baginya baik hakim maupun hali hukum teoretis harus memberi penjelasan bagaimana mereka sampai kepada suatu kesimpulan yang menciptakan hukum. Dworkin menyatakan bahwa hukum adalah suara yang tersusun dan koheren sebagaimana suatu kumpulan prinsip-prinsip yang berhubungan dimana setiap anggotanya menerima kenyataan bahwa mereka terhubung dengan kenyataan bahwa hak-hak dan tanggungjawab mereka diatur dengan prinsip yang umum.<br />
Dworkin mendukung pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa keputusan pengadilan yang tepat adalah yang didasarkan kepada koherensi yang baik dengan hukum secara keseluruhan. Sedangkan Lavenbook (1984) mendukung pendapat tentang koherensi global, ia mengkritik pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa keunggulan koherensi global mengabaikan fakta bahwa adakalanya putusan yang sah secara hukum didukung oleh, dalam hubungannya yang koheren dengan prinsip-prinsip yang merupakan wilayah suatu bidang hukum tertentu, akan tetapi prinsip tersebut berbeda secara substansial dengan, dan oleh karena itu tidak koheren dengan prinsip dari bidang hukum lain. Dalam pandangan ini, suatu putusan pengadilan yang sangat koheren dengan prinsip hukum di bidang tertentu dapat saja tidak menghasilkan koherensi dengan keseluruhan sistem hukum.<br />
7. Preseden dan Analogi dalam Legal Reasoning<br />
Argumen dari preseden dan analogi merupakan hal pokok dalam legal reasoning, legal reasoning ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh yang baik dalam hal ini, dalam kehidupan sehari-hari, orang pada umumnya tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa ia telah memutuskan sesuatu pada masa lalu dalam mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapinya dan yang akan diputuskannya di masa depan. Berbeda dengan preseden di bidang hukum, meski hukum bukan satu-satunya bidang di mana orang akan mempertimbangkan keputusan terdahulu dalama mengambil putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai praktek lembaga juga memberi bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan putusan masa lalu dalam mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga biasanya pengambil keputusan akan selalu mengacu kepada apa yang diputuskan sebelumnya sebagai pertimbangan mengenai apa yang harus mereka lakukan saat ini, tanpa memandang apakah keputusan yang diambil di masa lalu sudah benar atau tidak.<br />
Demikian pula pengambil keputusan di suatu lembaga selalu mempertimbangkan keputusan sebagai suatu kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi adalah berbeda dari masa lalu, yaitu dengan mengutipnya sebagai suatu analogi. Mereka beralasan bahwa karena keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa, maka akan tidak konsisten apabila sekarang diambil keputusan yang berbeda.<br />
Dengan Legal reasoning kita dapat memberi pertimbangan terhadap apa yang telah diputuskan di masa lalu tanpa memandang kehadiran para pembuat keputusan secara personal waktu itu. Dengan legal reasoning kita dapat mempertimbangkan apakah putusan masa lalu telah diambil secara tepat, akan tetapi fokus utama adalah bahwa keputusan yang diambil saat ini haruslah tepat dan tidak dihambat oleh pandangan tentang masalah terdahulu.<br />
Analogi sebagai argumen dalam legal reasoning adalah bahwa suatu kasus harus diperlakukan dengan suatu cara tertentu karena dengan cara itu pula kasus yang serupa telah diperlakukan. Argumen dengan analogi ini menjadi tambahan bagi doktrin preseden dalam dua hal yaitu: (i) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus tidak masuk dalam ratio suatu preseden, untuk dapat digabungkan hasilnya dalam kasus yang sama, (ii) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus masuk ke dalam ratio suatu preseden, sebagai dasar untuk membedakan kasus yang sedang ditangani dari preseden yang ada<br />
Analogi sebagaimana preseden muncul dalam konteks doktinal. Kasus yang sedang ditangani memunculkan masalah hukum, misalnya mengenai apakah persetujuan pihak korban meniadakan tuntutan hukum mengenai perkosaan, atau apakah pembakaran bendera merupakan bentuk penghinaan terhadap negara? Suatu analogi dapat mengenai suatu kasus atau pula mengenai suatu doktrin hukum dan analogi tergantung kepada karakter yang sama pada dua kasus yang terjadi atau dua doktrin hukum yang ada yang releven terhadap masalah yang terjadi.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-28708216436265722102009-11-26T01:54:00.000-08:002009-11-26T01:54:57.802-08:00HUKUM RESPONSIFResensi Buku Hukum Responsif (Philippe Nonet dan Philip Selznick) Judul asli Law & Society in Transition: Toward Responsive Law<br />
Lahirnya buku ini dilatarbelakangi dengan munculnya masalah- masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu.<br />
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.<br />
Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.<br />
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).<br />
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).<br />
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.<br />
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.<br />
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.<br />
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis<br />
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.<br />
Lewat buku ini, pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasaSINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-86557280781102184322009-11-26T01:53:00.000-08:002009-11-26T01:53:23.091-08:00PENEMUAN HUKUMAnalisis Terhadap Teknik/Metode Penemuan Hukum oleh Hakim di Kota Manado dalam Proses Pengambilan Keputusan<br />
<br />
Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.<br />
Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).<br />
TAnpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).<br />
Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran.<br />
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).<br />
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum.<br />
Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.<br />
Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal/faktor serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :<br />
Pertama, bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.<br />
Kedua, perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.<br />
Ketiga, adalah munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.<br />
Keempat, kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.<br />
Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.<br />
Tujuan dan Signifikansi Penelitian<br />
Penelitian yang dilakukan ini tentang analisis terhadap teknik/metode penemuan hukum oleh hakim di kota Manado dalam proses pengambilan keputusan, adalah dalam rangka untuk:<br />
1. Mengetahui kapan penemuan hukum oleh hakim itu dilakukan serta bagaimana tahapan/prosedur pelaksanaannya.<br />
2. Menganalisis sejauhmana penerapan metode penemuan hukum oleh hakim dapat memberi warna dalam setiap putusannya.<br />
3. Melihat perbandingan metode penemuan hokum dalam hokum Islam dan Konvensional secara umum.<br />
Analisis Teoritis dan Kerangka Konseptual<br />
Sistem hukum mempunyai tiga komponen atau sub sistem yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yaitu substansi hukum (substance) yakni kaidah/norma hukum serta peraturan perundang-undangan, struktur hukum (structure) yakni aparat penegak hukum dan budaya hukum (legal culture). Bilamana ketiga komponen hukum tersebut bersinergi secara positif, maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan. Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan “tujuan hukum” (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.<br />
Hukum, kaidah/norma, perundang-undangan (substansi hukum) yang merupakan komponen dari sistem hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum itu sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.<br />
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang tersebut, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim (unsur dari struktur hukum) tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang.<br />
Apa yang dimaksudkan dengan “penemuan hukum” dalam penelitian adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Atau dapat dikatakan adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu (Sudikno Mertokusumo, 1996: 37).<br />
Studi mengenai analisis terhadap teknik/metode (prosedur) penemuan hukum oleh hakim dalam proses pengambilan keputusan, kiranya tepat didekati melalui pendekatan teori “sistem hukum” sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yakni: Substance of the rule, legal structure dan legal culture (Lawrence M. Friedman, 1975: 11), dan teori “penegakan hukum” sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993: 5) yaitu: (a) materi hukum atau undang-undang, (b) penegak hukum, (c) sarana dan fasilitas, (d) masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan (e) budaya masyarakat, dalam hal ini akan diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam proses penemuan hukum. Serta teori tentang “tujuan hukum” yakni mencapai keadilan, menciptakan kemanfaatan dan menciptakan kepastian hukum, guna melihat apakah produk pengadilan (putusan oleh hakim) dapat mewujudkan hakikat dari tujuan hukum yang ada.<br />
Hasil selengkapnya, bagi yang membutuhkan dapat diperoleh dgn mengirimkan email ke mulnur@gmail.comSINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-81892724640733865162009-11-26T01:50:00.000-08:002009-11-26T01:50:57.242-08:00TEORI HUKUM MURNIIde mengenai Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar Doktornya pada bidang hukum. Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.<br />
<br />
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodologikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodologi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.<br />
1. Norma Dasar<br />
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.<br />
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.<br />
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norma moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.<br />
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklaim bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif. Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.<br />
2. Nilai Normatif Hukum<br />
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.<br />
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “peraturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.<br />
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.<br />
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-14865497272290517022009-11-26T01:48:00.000-08:002009-11-26T01:48:46.502-08:00HUKUM SEBAGAI SISTEMBiasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang-undang saja. Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut:<br />
<br />
1. asas-asas hukum (filsafah hukum)<br />
2. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari:<br />
Undang-undang <br />
peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang <br />
yurisprudensi tetap (case law) <br />
hukum kebiasaan <br />
konvensi-konvensi internasional <br />
asas-asas hukum internasional <br />
3. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum<br />
4. pranata-pranata hukum<br />
5. lembaga-lembaga hukum termasuk:<br />
struktur organisasinya <br />
kewenangannya <br />
proses dan prosedur <br />
mekanisme kerja <br />
6. sarana dan prasarana hukum<br />
7. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.<br />
Maka sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu unsurnya berubah, maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus berubah.<br />
Dengan kata lain: perubahan undang-undang saja tidak akan membawa perbaikan, apabila tidak disertai oleh perubahan yang searah di dalam bidang peradilan, rekruitmen dan pendidikan umum, reorganisasi birokrasi, penyelarasan proses dan mekanisme kerja, modernisasi segala sarana dan prasarana serta pengembangan budaya dan perilaku hukum masyarakat yang mengakui hukum sebagai sesuatu yang sangat diperlukan bagi pergaulan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang damai, tertib dan sejahtera.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-70198331423655847032009-11-26T01:47:00.000-08:002009-11-26T01:47:06.456-08:00DEFINISI HPIPENGERTIAN HPI<br />
<br />
a. HPI (Muchtar Kusumaatmadja): adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas Negara, atau dengan kata lain; HPI adalah hukum yang mengatur hubungan antar pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda.<br />
<br />
b. HPI (R.H. Graveson): adalah merupakan bidang hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan suatu system hukum lain, baik karena teritorialitasnya atau personalitas yang dapat menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum asing untuk memutuskan perkara atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau asing.<br />
C. HPI (Sudargo Gautama): adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa antar warga (warga) Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal.<br />
d. HPI (Sauveplanne): keseluruhan aturan-aturan yang mengatur hubungan-hubungan hukum privat atau perdata yang mengandung elemen-elemen asing, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah penundukan langsung ke arah hukum nasioanal dapat selalu dibenarkan.<br />
Secara umum HPI adalah seperangkat kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsure-unsur transnasional (atau unsur-unsur ekstrateritorial).<br />
Definisi yang lain tentang HPI akan menyusul.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-47632823583751717982009-11-26T01:45:00.000-08:002009-11-26T01:45:31.678-08:00PENDEFINISIAN HUKUMNoch suchen die juristen eine defenition zu ihrem begriffe von recht, sepenggal kalimat yang pernah diucapkan oleh Emmanuel Kant beberapa abad yang silam ini rasanya masih relevan untuk diperpegangi, utamanya jika seseorang mempertanyakan tentang apa itu “hukum” atau sebaliknya “hukum” itu apa?.<br />
<br />
Pertanyaan di atas akan menghasilkan jawaban yang beragam, karena sangat dipengaruhi oleh persepsi orang yang juga sangat beragam tentang “hukum” itu sendiri, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya, karena pada hakikatnya hukum adalah sesuatu yang abstrak meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit.<br />
Perbedaan serta perubahan tentang apa yang dimaksud sebagai hukum dari masa ke masa juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan sejarah kehidupan manusia. Masa dimana manusia belum mengenal undang-undang hukum lebih diidentikkan dengan kebiasaan dan atau tradisi yang menjadi pedoman hidup mereka. Namun ketika masa dimana undang-undang tampil dengan kemampuannya, maka muncullah pandangan yang mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Sedang pada masyarakat religius, hukum diidentikkan sebagai hukum tuhan atau hukum agama. Dan ketika masyarakat tiba pada masa atau tahap dimana pranata peradilan sangat difungsikan, sebagian orang lantas mengidentikkan hukum dengan segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Disisi lain, perbedaan tentang suatu definisi (termasuk “hukum”) dapat pula timbul sebagai akibat perbedaan pandangan aliran filsafat yang dianutnya.<br />
Faktor/Penyebab Sulitnya Mendefinisikan Hukum<br />
1. Sifatnya yang abstrak<br />
2. Luasnya cakupan yang diatur oleh hukum<br />
3. Bersumber dari faktor eksteren hukum, yakni faktor bahasanya.<br />
Sifat Khas yang Menyulitkan Menurut Curzon<br />
a. Penggunaan kata-kata yang sangat dibatasi<br />
b. Penggunaan kata-kata dalam konteks yang sangat spesifik<br />
c. Kecenderungan setiap orang untuk memberi arti yang berbeda terhadap suatu hal, sebagai contoh, adanya perbedaan antara arti suatu istilah yang digunakan dalam “ilmu hukum” dengan arti kata atau istilah itu jika digunakan dalam pergaulan sehari-hari di luar dunia ilmu.<br />
d. Sejarah perubahan di dalam konteks hukum sendiri.<br />
Namun, bukan berarti tidak diperlukan adanya definisi hukum, sebab bagaimanapun sebagai pegangan, dibutuhkan suatu definisi hukum dengan tetap menyadari keterbatasan definisi tersebut. Menurut Arnold meskipun sulit, bagi kalangan hukum akan terus melakukan pencarian makna secara konstan sebagai wujud penghormatan mereka terhadap hukum sebagai suatu ilmu.<br />
Terkait dengan hal tersebut, Paton (1951: 51) memandang bahwa hukum dapat didefinisikan dengan memilih salah satu dari 5 kemungkinan:<br />
1. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar (logis, religius, ataupun etis)<br />
2. Menurut sumbernya (kebiasaan, preseden atau undang-undang)<br />
3. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat<br />
4. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya<br />
5. Menurut tujuan yang ingin dicapainya.<br />
Tujuan & Kegunaannya<br />
a. Kegunaan dari pendefinisian hukum secara minimal adalah sebagai pegangan awal dalam mempelajari ilmu hukum khususnya bagi orang awam di bidang hukum.<br />
b. Untuk menyatakan arti hukum secara tepat.<br />
c. Untuk memberikan suatu gambaran yang benar tentang hukum serta cara-cara operasionalnya.<br />
d. Menarik suatu sikap fundamental yang dianut oleh penulis, pakar tentang hukum.<br />
Penting tuk Diperhatikan<br />
Bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendefinisian hukum antara lain:<br />
a. Menggunakan arti yang dikenal dalam bahasa yang bersangkutan.<br />
b. Tidak semata terpaku pada persoalan kata-kata, tetapi juga memperhatikan kenyataan-kenyataan dalam hal apa kata-kata itu digunakan.<br />
c. Menggunakan pertanyaan arti dari kata-kata yang hendak didefinisikan, hal ini sekaligus dapat mempertajam persepsi mengenai fenomena-fenomena yang bersangkutan.<br />
d. Memperhitungkan faktor-faktor seperti ideology, lingkungan, ataupun sosial dari si pembuat definisi.<br />
Pada kesempatan yang lain, kita akan melihat beberapa pengertian tentang “hukum” dari beberapa pakar serta aliran yang melatarbelakanginya.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-48974747193400812832009-11-26T01:42:00.000-08:002009-11-26T01:42:26.755-08:00DEFINISI HUKUMMembaca beberapa literatur utamanya yang terkait dengan Ilmu Hukum, maka akan kita temukan beberapa definisi/pengertian tentang “hukum”, dan definisi tentang “hukum” itu dapat pula kita temui dari kamus, ensiklopedi ataupun dari suatu aturan perundang-undangan.<br />
<br />
Untuk melihat apa yang dimaksud dengan hukum, berikut akan diurai definisi “hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu hukum yang ada, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya.<br />
<br />
Aliran Sosiologis<br />
Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:<br />
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).<br />
2. Hukum dalam arti selaku kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka).<br />
Hukum bagi Rescoe Pound adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya.<br />
Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).<br />
Bellefroid: Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu).<br />
<br />
Aliran Realis<br />
Holmes: The prophecies of what the court will do… are what I mean by the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya artikan sebagai hukum).<br />
Llewellyn: What officials do about disputes is the law it self (apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri).<br />
Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.<br />
Aliran Antropologi<br />
Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).<br />
Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).<br />
Bohannan: Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum).<br />
<br />
Aliran Historis<br />
Karl von Savigny: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.<br />
<br />
Aliran Hukum Alam<br />
Aristoteles: Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.<br />
Thomas Aquinas: Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.<br />
Jhon Locke: Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.<br />
Emmanuel Kant: Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.<br />
<br />
Aliran Positivis<br />
Jhon Austin: Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.<br />
Blackstone: Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.<br />
Hans Kelsen: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia… Hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-44124837200987672702009-11-26T01:38:00.000-08:002009-11-26T01:38:04.341-08:00KEPASTIAN HUKUMApa itu Kepastian Hukum?<br />
<br />
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.<br />
Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.<br />
Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.<br />
Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal).<br />
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum. (fromSINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-4144819258257419682009-11-26T01:37:00.000-08:002009-11-26T01:37:03.823-08:00EQUALITY BEFORE THE LAWPersamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial. <br />
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.<br />
Adalah Napoleon Bonaparte, orang Perancis yang terkenal sebagai pemimpin militer dan penguasa Perancis pasca Revolusi (1789), yang berkontribusi “mengabadikan” asas persamaan dihadapan hukum sampai detik ini. Tridharma semangat Revolusi Perancis (liberte, egalite dan fraternite) diagregasi oleh pakar hukum di masa Bonaparte pada tahun (1804-1807) ke dalam kodifikasi hukum yang kemudian dikenal dengan nama Code Napoleon. Landasan penting dari kodifikasi ini adalah tidak adanya hak-hak istimewa berdasarkan kelahiran dan asal usul seseorang, semua orang sama derajat dihadapan hukum.<br />
Revolusi Perancis (1789) adalah titik tolak terpenting dalam studi hukum modern karena disanalah Negara Modern, Hukum Modern, Rule of Law, Konstitusionalisme dan Demokrasi beranjak. Satjito Rahardjo menyebut kemunculan sekalian aksi modernisme dengan kelahiran hukum modern itu sebagai The Big Bang yang menggantikan cara-cara lama dalam berhukum. Di sanalah letak signifikansi Revolusi Perancis.<br />
Namun sejak semula, sudah ada kritik yang ditujukan kepada pola Revolusi Perancis itu, salah satunya adalah yang melihat Revolusi Perancis sebagai Revolusinya kaum borjuis. Tocqueville menggambarkan masyarakat Perancis pada tahun 1770-an dan tahun 1780-an sebagai masyarakat yang ekonominya sedang berkembang pesat. Semua lapisan rakyatnya telah sama-sama mengecap faedah dari pertumbuhan itu. Hal ini mengindikasikan bawah Revolusi Perancis bukanlah persoalan perjuangan ekonomi rakyat, melainkan perjuangan politik untuk mengganti tirani. Tirani yang sudah dikenal secara simbolik dengan ucapan Raja Louis XIV (1638 –1715), L’état c’ést moi (Negara adalah Saya). Revolusi Perancis sebenarnya menyimpan motivasi dari kalangan borjuis untuk mendapatkan kesamaan hak dengan raja secara sosial, politik dan ekonomi.<br />
Dalam ikhtiar mengganti feodalisme, negara demoktaris konstitusional dijadikan sebagai wadah baru dari organisasi sosial. Bagi kaum moderat, Negara adalah produk dan manifestasi untuk mendamaikan pertentangan kelas. Negara adalah hasil kompromi yang dipayungi kodifikasi hukum tertulis yang dibuat oleh badan publik dan berlaku umum. Disanalah esensi egalitarianisme. Hukum tertulis itu ditinggikan kedudukannya karena dianggap sebagai monumen kontrak sosial warganegara. Pengutamaan hukum tertulis buatan manusia itu adalah untuk mengganti semangat hukum alam yang mulai kedodoran. Bila sebelumnya yang memberikan kepastian adalah hukum kodrat dari Tuhan, termasuk yang termanifestasi lewat kekuasaan raja. Maka semenjak itu, hukum buatan manusialah yang harus memberikan kepastian dalam menuntun masyarakat. Fiksi tentang kepastian hukum pun dilahirkan. Itulah supremasi undang-undang (legisme).<br />
Pandangan yang pada sisi lain tentang bangunan negara disampaikan oleh Karl Marx, seorang Jerman yang pengaruhnya cukup luas pada abad 20. Lenin adalah Pemimpin Revolusi Bolsevik di Rusia yang mengamalkan ajaran Marx. Revolusi Rusia adalah cara lain melihat negara dan sekaligus merupakan kritik atas Revolusi Perancis yang tidak menyentuh perbaikan kelas ekonomi.<br />
Rusia juga mengalami absolutisme feodal sebagaimana dialami Perancis dalam ungkapan L’état c’ést moi dari Raja Louis XIV. Di Rusia juga terkenal ungkapan, apa yang dimimpikan oleh Maharani Catherine II, Maharani Rusia (1729—96) pada waktu malam akan menjadi undang-undang pada keesokan harinya. Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia adalah antitesa terhadap feodalisme. Berbeda dari Revolusi Perancis, bagi Marx, negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan “tata tertib” yang melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan memoderasikan bentrokan antar kelas. Sehingga, tata tertib hukum yang diproduksi dalam asas Persamaan dihadapan hukum dari semangat Revolusi Perancis menjadi salah upaya untuk mendamaikan bentrokan antar kelas yang disembunyikan.<br />
Namun, praktik negara komunis Uni Soviet pada masa Stalin meruntuhkan esensi dari emansipasi sosial dan ekonomi dari cita-cita Marx. Ini terjadi karena kediktatoran mendistorsi sekalian bangunan ekonomi dan sosial menjadi utuh sebagai urusan negara melalui pemerintahan diktator. Totalitas negara mereduksi aspek ekonomi, sosial dan politik individu warganegara serta komunitas yang beragam.<br />
Meskipun demikian, partai komunis di beberapa negara berkembang menjadikan tesis Marx tentang perjuangan kelas memasuki dimensi asas Persamaan dihadapan hukum dengan mendorong hukum sebagai alat emansipasi sosial dan ekonomi. Hal ini dilakukan atas dasar kesenjangan antara semangat persamaan (egalite) dengan distribusi sumberdaya. Gerald Allan Cohen cukup tepat mengambil judul bukunya untuk menggambarkan kesenjangan itu. Cohen menulis buku berjudul: If You’re an Egalitarian, how Come You’re Rich. Negara-negara maju yang mengampanyekan dan mengaku sebagai egalitarian, malah masih sangat kaya dan menghegemoni sumberdaya. Cohen masih kuat dipengaruhi oleh ajaran Marx.<br />
Lalu pertanyaannya, apakah dalam ketimpangan itu asas persamaan dihadapan hukum mesti dihilangkan sebagai suatu asas hukum? Jawabannya adalah Tidak. Dalam hal tertentu, asas persamaan dihadapan hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas. Namun disisi lain, karena ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal dan informasi) asas tersebut sering didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk melindungi aset dan kekuasaannya. Misalkan dalam hal asas persamaan dihadapan hukum yang dikawinkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).<br />
Dalam praktiknya, asas praduga tidak bersalah itu menjadi asas yang paling umum untuk melindungi keburukan penguasa dan pemodal dihadapan hukum. Setiap penguasa atau pengusaha yang tersangkut masalah hukum akan menggunakan asas praduga tidak bersalah untuk menyembunyikan dosanya. Sedangkan bagi masyarakat awam dan marjinal, asas tersebut tidak diutamakan. Setiap hari kita masih melihat bagaimana acara-acara informasi kriminal di televisi yang mempertontonkan penembakan atau pemukulan orang yang disangka melakukan kejahatan. Hal yang tidak pernah kita lihat pada tersangka penjahat kelas kakap.<br />
Dalam era informasi, asas persamaan dihadapan hukum juga mesti terkait dengan asas publisitas di dalam hukum. Setiap orang dianggap tahu dengan hukum, meskipun dia tidak pernah diajak merumuskan hukum yang dibuat. Dalam hal ini, asas persamaan dihadapan hukum mesti terkait dengan asas partisipasi pembentukan hukum dan persamaan atas informasi suatu perundang-undangan yang dibuat legislatif. Sehingga, persamaan dihadapan hukum juga harus didahului dengan persamaan memperoleh informasi terhadap suatu peraturan yang diundangkan. Asas publisitas ini menuntut pemerintah melakukan sosialisasi peraturan yang sudah dibuatnya.<br />
Yang lebih esensial lagi adalah, asas persamaan dihadapan hukum tidak dipandangan sebagai suatu barang (berbentuk konstruksi fiktif) yang final. Asas ini harus dilihat sebagai suatu cara dalam berhukum. Sehingga dalam pembuatan, pelaksanaan dan penegakan hukum juga mesti melihat kembali struktur sosial dan ekonomi yang meliputi masyarakat. Pemahaman terhadap ketidaksamaan harus mendahului asas persamaan. Salah satu cara untuk mengetahui ketidaksamaan realitas sosial itu misalkan bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui data-data yang terpercaya (data kemiskinan, potensi sumberdaya alam, ketimpangan kepemilikan, diskriminasi, dan seterusnya). Data kuantitatif hanya pintu masuk saja untuk melihat persoalan sosial dan ekonomi. Cara lain adalah melihat analisa kualitatif dari aspek sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo mengajak bersimpati, empati dan menggunakan perasaan dalam melihat persoalan sosial. Sehingga penegakan dan pelaksanaan hukum menjadi pengimbang dari ketimpangan yang sedang berlangsung.<br />
Bila asas persamaan hukum diterapkan dalam pandangan yang melampaui antroposentrisme dalam berhukum. Maka asas persamaan hukum mesti melihat persamaan perlakuan yang adil terhadap ketimpangan struktural dalam masyarakat, sekaligus perlakuan yang adil bagi lingkungan. Asas persamaan hukum ditantang menjadi media aplikasi keadilan sosial dan keadilan lingkungan.<br />
Referensi<br />
Gerald Allan Cohen, If You’re an Egalitarian, how Come You’re Rich (download di: http://books.google.co.id/books?id=K3AM9VyP2gEC&pg=PA101&dq=if+%22you+re%22+an+egalitarian+how+come+%22you+re%22+so+rich+pdf&psp=1&source=gbs_toc_s&cad=1&sig=tc6VstSF1kjWuwosFDCNY7Nsnt4#PPP1,M1<br />
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, terj. Karisma Publishing Group, Batam Center, 2005.<br />
Qasim Ahmad, Eropah Modern: Arus Sosiopolitik dan Pemerintahan, edisi Kedua<br />
V.I. Lenin, Negara dan Revolusi: Ajaran Marxis tentang Negara dan tugas-tugas Ploretariat di dalam Revolusi, diunduh dari www.marxist.com. (From YA: Indoblawgger Forum).SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-83593378392405310352009-11-26T01:32:00.000-08:002009-11-26T01:32:49.051-08:00PERGESERAN PARADIGMA HUKUMSaat ini perbincangan mengenai reformasi berbagai aspek kemasyarakatan dan kenegaraan telah menjadi milik kalangan luas masyarakat dan cukup mendominasi tema keseharian kita. Pada pokoknya sebagian besar pengamatan memberi prioritas utama pada perlunya reformasi di tiga aspek, yakni hukum, ekonomi dan politik. Ketiga aspek tersebut boleh jadi mempunyai nilai signifikansi dan bobot yang sama bagi keberhasilan reformasi secara keseluruhan. Namun sayangnya, perhatian atas aspek hukum masih belum sebesar perhatian atas aspek ekonomi dan politik.<br />
<br />
Yang mencuat mengenai aspek hukum hanyalah persoalan pencabutan paket lima undang-undang politik dan undang-undang subversi, yang notabene pemberlakuan serta kelangsungannya hanya merupakan hasil dari proses yang menyangkut teknik dan politik perundang-undangan. Tulisan ini sebagai sumbang saran mencoba mendiskusikan apa yang dinamakan dalam tulisan ini sebagai pergeseran paradigma, terutama menyangkut teknik dan politik perundang-undangan dalam pembentukan hukum. Pergeseran paradigma ini menurut pandangan penulis penting diupayakan untuk memberi iklim kondusif bagi pelaksanaan reformasi. Inti pergeseran paradigma tersebut mencakup tiga hal, yakni dari jargon konstitusional menuju pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, dari formalisme menuju substansialisme, dan dari absolutisme menuju dinamisme.<br />
Pertama, pergeseran dari jargon ‘konstitusional’ menuju pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini eksekutif dan legislatif tidak lagi menyembunyikan kepentingannya dalam jargon ‘secara konstitusional’ dalam menanggapi keinginan perubahan. Karena pada intinya atau bila diartikan lebih lanjut, jargon ‘secara konstitusional’ tersebut berkecenderungan untuk tetap mengedepankan peraturan perundangan atau peraturan tata tertib yang memangkas kedaulatan rakyat. Sebagai contoh di antaranya adalah penggunaan hak-hak DPR, seperti hak inisiatif, amandemen dan budgeter dalam pemberdayaan potensi perancangan maupun korektif DPR terhadap kinerja pemerintahan. Hak-hak tersebut tidak dapat dipraktekkan secara leluasa, karena belenggu peraturan tata tertib DPR sendiri. Oleh karenanya tidak menjadi aneh apabila pihak legislatif pada kenyataannya lamban dalam menyikapi keinginan perubahan. Hal ini dapat dilihat secara konkrit dalam tanggapan berbagai pihak mengenai press-release Pimpinan DPR/MPR agar Presiden mengundurkan diri. Press-release yang dibacakan tanggal 18 Mei 1998 tersebut, walaupun sifatnya baru merupakan himbauan, bukan Ketetapan atau Keputusan, dianggap menyalahi Undang-undang dan/atau Tata Tertib DPR/MPR.<br />
Semenjak mencuatnya gagasan reformasi, jargon reformasi yang konstitusional kerap dipakai kalangan eksekutif dan legislatif dalam memberikan tanggapan terhadap keinginan reformasi. Namun jargon tersebut terkesan dipergunakan untuk melambat-lambatkan keinginan reformasi, bahkan menyembunyikan kecenderungan mempertahankan status quo. Oleh karenanya jargon ‘secara konstitusional’ dipandang oleh banyak pihak sebagai tanda bagi kelumpuhan paradigma (paradigm paralisys) dinamika kehidupan bangsa melalui jalur formal. Padahal akan berbahaya sekali bilamana kesadaran kelumpuhan tersebut berujung pada pikiran bahwa tidak ada jalan lain bagi perubahan, kecuali melalui revolusi.<br />
Jalan terbaik yang mendesak diupayakan sebenarnya adalah bagaimana kita sebagai sebuah bangsa berani kembali kepada kemurnian pelaksanaan pasal-pasal undang-undang dasar kita, dan bukannya menggunakan peraturan perundangan organik atau peraturan tata tertib yang pada kenyataannya membuat kedaulatan rakyat menjadi sulit dicapai. Sejarah ketatanegaraan kita pernah melakukan hal yang patut diteladani dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Yakni diadakannya peninjauan kembali produk-produk legislatif Negara yang berupa Ketetapan MPRS dan di luar produk MPRS, yakni yang berbentuk Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-undang, maupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Hal tersebut diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966. Pelaksanaan dua Ketetapan tersebut berhasil melakukan pencabutan beberapa produk legislatif negara, yang isi serta tujuannya dipandang bertentangan dengan suara hati nurani rakyat.<br />
Sebagai tindakan awal yang sejalan dengan paradigma ini, adalah relevan untuk memenuhi tuntutan pencabutan paket lima undang-undang politik. Namun untuk mencapai tahap reformasi yang mencukupi, segala peraturan perundangan dan tata tertib yang menghambat keberdayaan kewenangan legislasi DPR harus secara langsung dicabut dan diganti.<br />
Kedua, pergeseran dari formalisme menuju substansialisme. Dalam hal ini proses pembetukan suatu hukum haruslah pertama-tama didasarkan pada materi atau substansi peraturan perundangan yang bersangkutan, dan bukan pada bentuk peraturan perundangannya. Maksudnya adalah bahwa perlunya kedaulatan rakyat dilibatkan, yang dalam konteks negara kita melalui persetujuan DPR, bukan dilihat bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan akan dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan perundangan di bawah undang-undang, misalnya Peraturan Pemerintah atau Keppres. Namun apakah substansi peraturan perundangan tersebut merupakan materi yang boleh dibentuk oleh eksekutif saja ataukah harus dengan persetujuan legislatif. Sebagai contoh misalnya bahwa selayaknya setiap pembebanan kewajiban, terutama menyangkut ekonomi dan finansial kepada warga negara haruslah mendapat persetujuan DPR. Jadi peraturan perundangannya harus berbentuk undang-undang. Sehingga tidak dapat dituangkan dalam bentuk yang untuk pemberlakuannya tidak memerlukan persetujuan DPR, misalnya Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.<br />
Saat ini bisa dilihat bahwa peraturan perundangan berbentuk Keppres diberlakukan untuk hal-hal yang membebani secara ekonomis kepada rakyat. Contoh terbaru dari hal ini adalah Keppres Nomor 69 dan 70 tahun 1998 tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dan kenaikan Tarif Dasar Listrik. Suatu peraturan perundangan –yang seperti kita ketahui sendiri, dampaknya sangat luas dan strategis terhadap berbagai bidang lain, hanya diatur oleh Keppres yang pemberlakuannya tidak diperlukan persetujuan DPR. Padahal kalau kita pelajari peruntukannya, menurut Surat Presiden yang ditujukan kepada Ketua DPR No. 2262/HK/1959 disebutkan bahwa bentuk peraturan perundangan Keppres dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan. Jadi Keppres diundangkan untuk mengatur hal-hal yang bersifat intern kepresidenan dan administrasi kepemerintahan.<br />
Ketiga, pergeseran dari absolutisme menuju dinamisme. Yakni sudah saatnya masuk dalam pemikiran kita membuang jauh gagasan yang hendak mengabsolutkan peraturan perundangan, dimana satu proses dan produk ketatanegaraan masa tertentu bisa membelenggu proses dan produk ketatanegaraan dan kemasyarakatan masa-masa yang akan datang. Setiap dinamika dan perkembangan yang terjadi atau diinginkan bagian terbesar masyarakat harus mendapat tempat dalam proses pembentukan hukum. Sehingga tidak perlu terjadi misalnya suatu konsensus dari satu kelompok masyarakat pada masa tertentu mengabsolutkan keberlakuan dan penafsiran peraturan perundangan. Dalam hal ini, budaya menempatkan amandemen dan addendum yang memang dibutuhkan terhadap suatu peraturan perundangan, tidak dipersulit dengan lingkaran setan aturan mengenai referendum yang berlaku saat ini. Sejalan dengan ini adalah pengamatan DR Adnan Buyung Nasution yang menyimpulkan, bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang bahkan undang-undang dasarnya sekalipun tidak bisa dirubah atau ditambah.<br />
Secara umum upaya terbaik bagi terselenggaranya pergeseran paradigma absolutisme menuju dinamisme adalah dikembalikannya gairah intelektualisme dalam kajian konstitusi di tengah masyarakat kita. Seluruh potensi pemikiran dan kritik dari kalangan yang seluas-luasnya mengenai tema ini perlu diperlakukan sebagai sesuatu yang sah dan dihargai sebagai sebuah partisipasi dalam menegakkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tingkat kesadaran ini memang memerlukan satu metode yang perlu dipahami bersama secara lebih mendalam. Yakni bahwa segala proses dan hasil dari kajian konstitusi bukan merupakan suatu doktrin yang ketat, sehingga menjadi tafsir baku yang alergi terhadap kritik dan perbedaan. Segala kajian, baik itu yang bersifat resmi kelembagaan negara, semisal butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), maupun bersifat umum dari kalangan intelektual dan masyarakat, harus diperlakukan selayaknya sebuah ilmu atau diskursus yang setiap saat siap untuk dipelajari dan dikritisi.<br />
Mengenai intelektualisme ini, kita dapat mengambil hikmah dari kegairahan sebagaimana terjadi pada tahap awal kemerdekaan Republik Indonesia sampai dekade pertama dari masa pemerintahan Presiden Soekarno. Seluruh komponen kritis bangsa pada waktu itu ikut berpartisipasi menyumbangkan pemikirannya terhadap konstitusi dan penafsirannya, baik berupa buku, pidato maupun bentuk lain. Bahkan terhadap perancangan undang-undang dasar sendiri terjadi perdebatan penting antara dua kubu yang berlainan konsep dan wawasannya. Yakni yang dalam istilah sekarang sering disebut sebagai kubu integralistik, yang diwakili pemikiran Soepomo dan Soekarno, berhadapan dengan kubu liberal, yang diwakili pemikiran Hatta dan Syahrir.<br />
Selain itu di tingkat undang-undang dasar kita juga bisa belajar dari apa yang pernah dilakukan Konstituante dalam melaksanakan mandatnya untuk menyusun konstitusi baru. Walaupun gagal, namun gairah intelektualisme dan keberanian berfikir dalam tubuh legislatif tetap patut dijadikan contoh bagi DPR sekarang ini. Sedangkan di tingkat undang-undang dan peraturan perundangan di bawahnya, intelektualisme dapat ditumbuhkembangkan salah satunya dengan memberikan hak uji materiil (judicial review), terutama pada komponen yudikatif, yakni Mahkamah Agung. Dengan demikian, secara kelembagaan Mahkamah Agung dapat berfungsi tidak saja sebagai agent of justice, namun juga sebagai the agent of democracy. Dan secara umum, masukan atau koreksi yuridis yang berasal dari masyarakat akan mendapat saluran yang lebih luas, berwibawa, serta sistemik. Sehingga pada gilirannya nanti dapat membantu membiasakan cara-cara demokratis dan berkedaulatan rakyat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. (omperi PUF).SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-11235963674863072302009-11-26T01:30:00.000-08:002009-11-26T01:30:05.261-08:00SUMBER - SUMBER HUKUMSINGGIH BUDI UTOMO, SH <br />
<br />
Terdapat beberapa pengertian tentang sumber hukum :<br />
Sumber hukum: segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. (KBBI, h. 973).<br />
Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.<br />
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan , dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.<br />
Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.<br />
<br />
MACAM (PEMBEDAAN) SUMBER-SUMBER HUKUM<br />
<br />
Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :<br />
<br />
a. Menurut Edward Jenk , bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu :<br />
1. Statutory;<br />
2. Judiciary;<br />
3. Literaty.<br />
<br />
b. Menurut G.W. Keeton , sumber hukum terbagi atas :<br />
1. Binding sources (formal), yang terdiri :<br />
- Custom;<br />
- Legislation;<br />
- Judicial precedents.<br />
2. Persuasive sources (materiil), yang terdiri :<br />
- Principles of morality or equity;<br />
- Professional opinion.<br />
<br />
SUMBER HUKUM MATERIIL & SUMBER HUKUM FORMAL<br />
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke dalam kriteria :<br />
a. Sumber hukum materiil; dan<br />
b. Sumber hukum formal.<br />
Menurut Sudikno Mertokusumo , Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.<br />
Sedang Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.<br />
<br />
SUMBER HUKUM FORMAL<br />
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.<br />
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.<br />
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah :<br />
a. Undang-undang;<br />
b. Kebiasaan;<br />
c. Traktat atau Perjanjian Internasional;<br />
d. Yurisprudensi;<br />
e. Doktrin.<br />
1. Undang-undang :<br />
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertutlis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis.. dengan perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).<br />
<br />
Undang-undang dapat dibedakan atas :<br />
a. Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya.<br />
b. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.<br />
2. Kebiasaan :<br />
Dasarnya : Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.<br />
Dalam penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.<br />
3. Traktat atau Perjanjian Internasional :<br />
Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.<br />
Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :<br />
(1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;<br />
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.<br />
4. Yurisprudensi :<br />
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.<br />
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.<br />
Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan.<br />
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :<br />
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :<br />
1) Putusan perdamaian;<br />
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;<br />
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;<br />
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.<br />
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.<br />
5. Doktrin :<br />
Doktrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut.<br />
Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.<br />
Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya.SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-50015140863560020162009-11-26T01:24:00.000-08:002009-11-26T01:24:47.868-08:00KODIFIKASI HUKUM<div>kodifikasi hukim Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas: <br />
a). Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. dan;<br />
b). Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).<br />
KODIFIKASI HUKUM ialah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.<br />
Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:<br />
a. Jenis-jenis hukum tertentu<br />
b. Sistematis<br />
c. Lengkap<br />
Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:<br />
a. Kepastian hukum<br />
b. Penyederhanaan hukum<br />
c. Kesatuan hukum<br />
Contoh kodifikasi hukum:<br />
Di Eropa :<br />
– Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565.<br />
– Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Prancis dalam tahun 1604.<br />
Di Indonesia :<br />
– Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)<br />
– Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)<br />
– Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan 1918)<br />
– Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des 1981)<br />
<br />
<br />
</div>SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-405573615446001127.post-39297246094950817192009-11-25T01:36:00.001-08:002009-11-25T01:36:49.554-08:00<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHAxS-7nqVLjPITKKgy30y2UW-mIy3j45K6gF7St8LXDB43T7YYjUB-ZpRVQTOEEBfPlkx5s4-svGpShE4J-88nCpjeOb1euVNtjvCccSRAh2nYYHGUBBLD4wYju65rshUo6iODDhAsVU/s1600/100_4510.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; cssfloat: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHAxS-7nqVLjPITKKgy30y2UW-mIy3j45K6gF7St8LXDB43T7YYjUB-ZpRVQTOEEBfPlkx5s4-svGpShE4J-88nCpjeOb1euVNtjvCccSRAh2nYYHGUBBLD4wYju65rshUo6iODDhAsVU/s320/100_4510.JPG" yr="true" /></a><br />
</div>KUCINGKUPAS.....SINGGIH BUDI UTOMO IIhttp://www.blogger.com/profile/03919067318405401589noreply@blogger.com0