Kamis, 26 November 2009

ASAS NON-RETROAKTIF

Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka – sekalipun dengan pro dan kontra – tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan – dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., Ll.M. Tulisan ini dimuat dalam Buku “Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi” yang diterbitkan oleh MTI akhir Maret 2005 http://www.transparansi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar